“Hiya!”

“Rasakan jurus ini!” Ravin memutarkan tangannya seakan benar-benar ingin mengeluarkan jurus itu. Padahal sebenarnya tidak.

“Hwa!”

Tak lama kemudian, gerombolan itu pergi seraya menatap Ravin dengan tatapan yang tak dapat Ravin mengerti.

“Aneh tau nggak sih lo?” Ara menatap Ravin sinis lalu bergegas pergi menuju kelasnya.

Namun Ravin tak menyerah, ia berjalan cepat untuk menyejajarkan posisinya dengan Ara. “Nggak papa aneh, yang penting mereka pergi ‘kan?”

“Yang penting mereka nggak ganggu Ara, yang penting mereka nggak bikin Ara sedih, nggak bikin Ara sakit hati.”

Ara berdecak kesal. “Mau lo tuh apa sih?”

“Gue cuma nggak mau ada orang yang nyakitin lo, Ra.”

“Babang nggak mau kalo mereka ngomong yang enggak-enggak tentang Ara.”

Ara memutar kedua bola matanya malas lalu berjalan hingga di depan kelasnya, namun lagi-lagi lelaki itu mengganggunya. “Ra.”

Ara menoleh malas.

“Ara nggak boleh sedih ya!”

“Semangat,” ujar Ravin seraya tersenyum hangat.

“Pokoknya kalo mereka ngomong macem-macem lagi, Babang Ravin orang pertama yang bakalan bikin hidup mereka nggak tentram.”

Entah mengapa, senyuman Ravin kali ini seperti memiliki sihir bagi siapapun yang melihatnya. Senyuman itu seakan bisa menenangkan hati yang tengah gundah.

Namun tidak tahu apakah senyuman itu dapat meluluhkan hati seorang Davira Amanda atau tidak.

Sekarang sudah jam terakhir, namun semenjak tadi pagi Ravin sama sekali tidak lagi melihat Ara. Bahkan ketika istirahat tadi, Ara tidak terlihat di kantin. Dimana gadis itu sekarang?

Ravin tak lagi fokus memperhatikan Bu Fira, guru biologinya yang tengah menjelaskan materi. Ravin menoleh ke arah Aron seraya berbisik pelan.

“Ron, kenapa dari tadi gue nggak ngeliat bidadari tak bersayap gue ya? Apa jangan-jangan dia pulang ke kayangan?” tanya Ravin pada Aron.

“Yaelah, gue tau banget gimana Ara. Paling itu anak tidur di kelas.”

Ravin menggelengkan kepalanya. “Iya kalo Ara tidur di kelas, kalo Ara ilang gimana? Gimana nasib Babang Ravin, Ron?”

“Lo pikir Ara jin tomang bisa ngilang?”

Brak. Seketika saja sebuah penghapus papan tulis terlempar kearah meja Ravin. Bu Fira menatapnya dengan tatapan yang sungguh mengintimidasi.

“Ravin, ngapain kamu? Kamu mau memperhatikan saya atau tidak?”

“Kalau tidak, silahkan keluar dari kelas saya sekarang!”

Ravin menunjukkan deretan giginya. “Saya lagi melakukan observasi penting, Bu.”

“Orang jenius sekalipun belum tentu pernah melakukan observasi ini, Bu!”

“Ini observasi yang sangat hebat!”

“Begitu hebat!” Ravin mengepalkan tangan lalu mengangkatnya seakan menunjukkan otot-otot lengannya yang sebenarnya tidak ada.

“Bukan begitu, Aron?” tanya Ravin seraya mengedipkan satu matanya.

Aron mengangguk pasrah seraya tersenyum kuda. “Iya, Bu.”

Kening Bu Fira berkerut, observasi apa yang tengah Ravin lakukan?

“Emang kamu lagi observasi apa, Vin?”

“Ngeliatin semut kawin, Bu,” jawab Ravin sehingga membuat seisi kelasnya menjadi tertawa.

Bu Fira menggelengkan kepalanya. “Keluar kamu dari kelas saya, bisanya bikin onar saja!”

“Bu, ini observasi yang sangat penting.”

“Lagian Si Semut. Mentang-mentang kecil terus kawin sembarangan, ngajak ribut?” ujar Ravin seraya menirukan iklan permen yang ada di televisi.

Hal itu membuat Bu Fira semakin geram. “Benar-benar kamu ya! Keluar dari kelas saya! Sekarang!”

“Baik, Ibu.”

“Titip salam buat Si Semut dari Babang Ravin yang tampan,” ujar Ravin lalu keluar dari kelasnya tanpa dosa dan perasaan bersalah sedikitpun.

Biasanya, hal itu akan menjadi hal yang menakutkan. Namun tidak untuk Ravin, hal itu adalah hal yang bagus. Ia tak perlu lagi berlelah-lelah untuk memperhatikan pelajaran yang membosankan. Sekaligus, ia bisa mencari keberadaan bidadari tak bersayapnya itu.

Dengan cepat Ravin bergegas untuk menghampiri kelas Ara. Ravin menunggu di depan kelas Ara hingga bel pulang berbunyi. Melelahkan memang, namun apapun akan ia lakukan untuk bidadari tak bersayapnya itu.

Ravin mengamati satu persatu murid yang keluar dari ruang kelas Ara, namun Ravin tak juga menemukan keberadaan gadis itu.

Hingga akhirnya, sosok Lovita keluar dari kelas itu. “Lov, Ara masih dikelas?”

Lovita menggelengkan kepalanya. “Enggak, Ara nggak ada di kelas dari dua jam terakhir.”

Ravin mengerutkan dahinya. “Lovita tau Ara kemana?”

Lovita lagi-lagi menggeleng. “Enggak tau, Ara ilang gitu aja.”

“Yaudah, Lov. Babang Ravin duluan ya!” Setelah itu Ravin mencari keberadaan Ara ke seluruh penjuru sekolah termasuk ruang musik. Namun ia belum juga menemukan gadis itu.

Dimana Ara sebenarnya? Apakah gadis itu baik-baik saja?

TBC

Author Note:
Babang Ravin bisa romantis juga ya belain Ara didepan banyak orang gitu? Kalo kalian jadi Ara, kalian bakalan luluh nggak? Oh iya, kira-kira Ara dimana ya? Apa dia baik-baik aja? Thanks for reading

Alya Ranti

Have a Nice Dream [Completed]Where stories live. Discover now