Fragments

15.1K 2.6K 827
                                    

Aku berbalik berdiri dengan defensif.

Ujung pisau ditanganku hampir menggores perutnya jika saja ia tidak melompat menghindar didetik terakhir.

"Ya menjauh!"
Bentakku memotong desis rutuk pria berkacamata didepanku.
"Menjauh kau sialan-"

Terhenti, pandanganku seketika jatuh pada lengan panjang kaus hitamnya yang digulung setinggi siku, memperlihatkan sekujur tangan kurusnya yang ditutupi noda darah sama seperti ditanganku sekarang.

Noda darah Regi.

Wajahku mengeras, rasa amarah muncul bagai aliran listrik panas menyambar disekujur tubuh.

"Kawanku sebentar lagi akan datang, mereka sungguh akan menghabisimu dan teman penembakmu dihutan itu!"

Ia tidak memberi respon.
Hanya mengamatiku beberapa detik sebelum menggeleng lalu mencabut kacamatanya dari wajah perseginya diikuti dengan tertawa kecil.

"Apa?!"
Sentakku.
Rasanya ingin sekali melempar pisau ditangan ini ke wajahnya.
"Apa yang kau tertawakan hah?!"

Wajah humornya menghilang begitu saja seakan tak pernah ada.

Wajah humornya menghilang begitu saja seakan tak pernah ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dimana dia?"
Sebutnya.

Aku menarik napas pendek.

"Katakan, dimana dia?"
Kepalanya menoleh-noleh kesekitar, sebelum pandangannya jatuh kelantai dibawahnya.

Matanya menyusuri bercak darah yang mengarah kebelakang meja bedah.

"Hmm?"
Ia balik menatapku.

Aku hanya diam, memberinya pandangan galak.

Ia mendadak maju, langkahnya berhenti tepat didepan pisau yang kuacungkan.

"Kau cuma sendiri ya?"

Oh demi Tuhan, sungguh aku benci sekali melihat seringai kemenangan yang timbul diwajahnya.

Tapi tak bisa memungkiri ucapannya cukup membuat rasa ngilu takut muncul dihati.

Karena aku bisa merasakan, pria didepanku ini bisa saja menyerang dan menyakitiku dengan sangat parah.

Regi saja kalah ditangannya!

Matanya sekilas meneliti kebalik kakiku, mengamati pria pod yang tak sadar sebelum balik memandangku.

"Saudaramu itu.. sudah mati ya?"

Aku tetap membisu.

"Yah,"
Wajahnya berubah mengkerut.
"Satu lagi kegagalan."

Ia lanjut berjalan melewati acungan pisauku begitu saja sampai membuatku tercengang.

"Sudah kukira, sudah rasanya bisa diperkirakan--"

Aku memutar badan.
Melihatnya sekarang mendekati monitor yang tersambung aktif dengan layar besar didinding belakangnya.

"Sudah ada perkiraan ketika ia berdesis lemah menyedihkan menyebut 'adikku' ketika aku menyeretnya-"

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang