Origins

13.1K 2.6K 341
                                    

Aku berusaha mengetahui situasi luar dengan menekankan telinga ke pintu.

.

.

Dimana mutannya sekarang?

.

.

Dahiku berkerut dengan pandangan menyamping,

.

.

Ayo..dimana kau?!

.

.

Penuh gelisah kuputar kepala, gantian telinga kiriku bekerja mencari suara.

.

.

Dan masih hening, tak ada suara apapun.

Sial!

Pintu dapur didepanku ini rapat sekali, bahkan tak menyisakan celah sedikitpun dibagian bawahnya.

Membuatku tak bisa mengecek, apakah mutan itu benar-benar sudah pergi

atau hanya ingin menjebak dengan rasa keamanan palsu.

Dengan enggan kulirik layar waktu HT yang berkedip digenggaman.

"Oh demi Tuhaan!"
Seketika aku memekik frustasi menjambaki rambut.

Hampir sepuluh menit sudah waktu terbuang hanya untuk meneliti mengelilingi tempat dapur ini lalu diakhiri dengan mematung ketakutan didepan pintu.

Oke..oke..

Mundur selangkah, kuhirup napas sebanyak-banyaknya untuk menguasai diri.

Tenang.

Pandangan mataku mendarat pada pajangan pigura besar, tergantung pada dinding sebelah pintu yang bersinar keemasan hasil dari pantulan cahaya lampu dapur.

Welcome to the Ark Pasific Kitchen.

"Oh Tu..han,"
Keluhku merasakan nyeri kembali didada.

Tak menyangka sekarang sekedar melihat sebuah pajangan pigura dapat membuatku mengalami goncangan jiwa.

Tak ada yang salah memang pada piguranya, tapi tempelan foto satu grup chef tersenyum dibagian atasnya itu seakan menyadarkan betapa sendirinya aku disini.

Sendiri, penuh rasa bimbang dan takut.

Dan aku sangat tahu akibatnya jika terlalu lama diam bersembunyi disini.

Yaitu kehilangan kesempatan untuk bisa menemukan Kakakku.

Ampun.

Gambaran jejak darah dikamar mandi yang ikutan terbesit membuat pandanganku terasa berputar.

Air mata mulai mengancam akan mengalir hingga membuatku segera memejamkan mata dengan cepat.

.

.

Pokoknya tidak boleh menangis lagi,

setidaknya tidak sekarang.

Karena menangis akan sangat mengancam sisa tekad ini untuk tidak menyerah.

.

.

Dengan tangan mengepal-ngepal, mataku berhasil membuka kembali tanpa meloloskan setetes air matapun.

Kupadamkan pikiran negatif sekarang sambil memasukkan balik HT yang masih terus berkedip-kedip tanpa sinyal kedalam kantong jaket depan.

Tak bisa disalahkan memang.
Alat HTnya terendam air laut dalam waktu yang mungkin telah melebihi batas ketahanannya.

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang