Calling

3.5K 728 204
                                    

"Jadi ini benar ya dirinya."

Gery, kawan baru semenjak awal diriku masuk SMA ini membolak balik lembar foto sebelum akhirnya mengoper kembali.

Semenjak kelar bercerita alasan detil mengapa aku hidup sendiri, suasana ruang tamu berubah menjadi suram.

Sebenarnya baru kali ini pula aku menceritakan secara lengkap kepada orang selain teman dekatku, Stefy. Walau sudah beberapa kali sudah aku mengajak mereka ke rumah untuk bersantai-santai.

Gery-Gerald dan Alma. Dikelas, Gery-Gerald duduk didepan, kadang dibelakangku dan Stefy. Sedangkan Alma kawan beda kelas namun aku satu ekstrakurikuler dengannya.

Kami saat ini duduk leyeh mengitar ditengah ruang tamu. Dibawah kipas besar yang berputar tak begitu kencang namun tak pelan juga.

"Kakakmu itu terdengar hebat sekali ya!"
Gerald memulai kembali sambil melirik Gery yang masih merenung di sebelahnya.
"Aku antara kagum dan ngeri juga sih. Terlihat sekali jangan sampai macam-macam padanya-"

"Betul se-kali."
Alma menimpali. Ia yang duduk di samping Gerald matanya tak berhenti terus menjelajah deretan bingkai foto di meja.
"Kalau ada apa-apa rasanya kau punya pilihan lain selain polisi. Kau bisa lari saja mengadu padanya."

Perkataan terakhir Alma justru membuat seketika rasa getir muncul di mulut namun pada saat yang sama aku merasakan ada tangan yang menepuk- nepuk pelan bahuku.

"Sabar ya Luce."
Kata Stefy masih terus menepuk.
"Seharusnya sih bisa seperti itu. Tapi seperti yang telah kalian dengar sebelumnya, kenyataannya justru sebaliknya. Sang kakak terhormat sudah tak peduli lagi dengan adiknya ini-"

"Ih Stefy, jangan begitu."

Aku bahkan begitu juga yang lain otomatis menoleh pada Alma.

Ia terlihat memerah seakan kaget dengan ucapannya sendiri. Lama ia termangu sebelum Gery yang lagi-lagi melontarkan pertanyaan.

 Lama ia termangu sebelum Gery yang lagi-lagi melontarkan pertanyaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa kau sudah coba menghubunginya? Samper ke kantor TNI terdekat-"

Aku menjawab antara dengan mengangguk dan menggeleng.

Membicarakan mendatangi kantor militer membuatku jadi malu. Tak bisa kulupakan bagaimana kesan yang kudapat saat kesana.

Yaitu kesan ditertawakan.

Aku menggaruk pipi.
"Sudah pernah sih beberapa kali. Tapi ya  respon mereka hanya ringan."

"Ringan?"

"Maksudku-"
Suaraku jadi merendah.
"Meremehkan. Bagiku seperti itu, Gery. Aku seperti perempuan idiot yang tak mau mengerti betapa sibuknya tugas kenegaraan kakaknya-"

"Tapi tetap tidak normal kan? Masalahnya dia tak pernah pulang lho ini-"

"Itu memang pilihan kakakku sepertinya. Seperti yang kubilang. Dia juga berubah galak sebelum pergi."
Aku mengelus mata.
"Jadi rasanya aku memang tak perlu mencari lagi sih Ger-"

RED CITY : ANNIHILATION Where stories live. Discover now