Pilot Denis mengkoreksi.
"Sebetulnya kesempatan untuk kita hidup sedikit lebih besar dengan ikut jatuh dengan heli ini-"

"Bukan itu intinya!"
Farel terlihat akan meledak sekarang.

Dengan langkah menghentak ia maju mendekati pintu ruang kokpit sampai membuatku refleks mundur selangkah.

"Yang jelas apa yang terjadi ini, tak ada urusannya dengan kami!"
Makinya dengan menghampiri tepat di tengahku dan Regi.

"Ini jelas semua salah kalian! Jelas kami hanya tim peneliti pertanian!"
Lanjutnya dengan jari terangkat tinggi, menunjuk agresif.
"Dan kau itu siapa? buronan?!"

Perkataan yang dilontarkan itu berhasil membuatku meringis ditempat.

Regi diseberangku tak bereaksi apapun, hanya memberinya tatapan dingin.

"Kau mengatakan tentang mereka sebelumnya-"
Desaknya sekarang pada Pilot Denis yang sekarang sedang menelan ludah.

"Dia!!"
Tunjuknya pada Regi lalu padaku.
"Mereka! it-"

"Mungkin mereka tak sepenuhnya salah,"

Suara lesu Marsia sekarang membuat kami bertiga kompak menoleh padanya.

Dengan pandangan tertunduk, ia melanjutkan.

"Kita berdua kan yang mau mengambil tawaran itu-"

"Apa maksudmu Marsia-"

"Oh hayolah Farel. Kita yang mau ambil tawaran ini!"
Cetusnya.
"Jika saja kita- aku tak mengambil-"

Marsia menegakkan duduknya dan menghela napas.

"Tak seharusnya aku mengambil tawaran pekerjaan ini.."
Tawa pedih meluncur dari mulutnya.
"Ibuku benar, tidakkah ia telah berulang-ulang meminta kita supaya tetap tinggal dan ikut saja dengan kegiatan yang disediakan di kamp?"

Mulut Farel terkatup.

"Dan sepertinya.. aku takkan punya kesempatan untuk kembali, bukan?"
Lanjutnya.
"Aku..takkan bisa bertemu ibu dan adik perempuanku lagi-"

Rasa tak enak pun masih sempat muncul di hatiku yang sudah dipenuhi rasa sesak ketakutan ini.

Ibu..

Kata sensitif itu membuatku..

bahkan Regi pun jadi menoleh padaku dengan rahang menengang.

Nguung..

Ruangan kabin jadi setengah redup.

Aku seketika membeku.

"Ini sudah dimulai,"
Cetus Pilot Denis seraya melangkah keluar dari kokpit.
"Mendekati lima belas menit pendaratan-"

Oh tidak!

"Ayo!"
Regi menangkap lenganku dan mendorongku balik masuk kedalam ruang kokpit.

"Segera ke tempat duduk!"

"Terus kau-"

"Dan pakai seatbeltnya,"
Perintahnya.
"Nanti aku kembali lagi!"

Ia berbalik menarik tutup pintu kokpitnya.

.

.

Pandanganku terasa berputar selama melangkah menuju kursi Ko-pilotku.

Oh Tuhan..

.

.

Aku mencengkrami kepalaku.

RED CITY : ANNIHILATION Where stories live. Discover now