Malaikat yang Tersesat

345 25 0
                                    

"Mark! Hari ini kau jadi di utus ke dunia ya?" tanya Michael.

"Iya." jawab Markhiel.

"Apakah kau sudah memberitahu Ekhziel? Ia pasti akan senang." ujar Michael.

"Tidak.
Aku harap kedatanganku ini menjadi kejutan baginya.
Aku tak akan bisa membayangkan wajah konyolnya saat melihatku di dunia.
Hahaha..." ujar Markhiel sambil tergelak.

"Terima kasih Mark.
Kau sudah mau menemani Ekhziel di dunia.
Suatu saat kalau aku sedang lenggang dari tugas, akan kujenguk kalian meski hanya sebentar." ujar Michael sambil menepuk pundak Markhiel.

"Ya tentu saja.
Kami akan menunggumu.
Oh ya, bila memang kau mau menjenguk kami, maukah kau memberikan ini pada Ekhziel saat kau bertemu langsung dengannya nanti?" ucap Markhiel sambil memberi sebuah gulungan kertas yang diikat rapi dengan pita biru emas.

"Apa ini?" tanya Michael sambil menerima gulungan putih itu.

"Aku ingin kedatanganmu juga akan menjadi kejutan baginya.
Apa kau mau bertemu sahabatmu dengan tangan kosong hah?!" ujar Markhiel.

"Hahaha...baiklah.
Kalau begitu bilang padanya untuk menunggu kedatanganku." ujar Michael sambil tertawa renyah.

"Baiklah." ujar Markhiel.

...

"Tapi kekuatan yang kuberikan padamu ini tak gratis." ujar Mammonth.

"Apa maksudmu?" tanya Ekhziel.

"Kau harus memberiku sedikit aroma segar dari darah seorang Chrierist." ucap Mammonth sambil menunjuk ke nenek tua yang sedang terduduk lemah menatap jendela.

"Maksudmu aku harus membunuh manusia itu? Tidak! Aku tidak mau!" ujar Ekhziel sedikit takut.

"Kau bilang kau tak peduli lagi dengan Surga?
Surga juga tak peduli padamu.
Tak akan ada yang menghakimimu apalagi mempedulikanmu.
Lagipula sampai kapan kau mau diperbudak oleh nenek tua renta yang malas itu." bujuk Mammonth.

"Tapi..." ujar Ekhziel ragu.

"Tak ada kata tapi.
Saat kau membunuhnya kau akan mendapatkan kekuatan yang luar biasa.
Semuanya akan tunduk pada perintahmu.
Kau tak perlu takut akan apapun.
Apakah ketakutanmu saat ini yang membuatmu ragu?
Apakah pantas kau menjadi seorang pemimpin saat ada ketakutan dan keraguan di hatimu wahai kawanku?" tanya Mammonth.

"Tidak! Aku tidak takut akan apapun!" ujar Ekhziel kali ini penuh keyakinan.

"Kalau begitu lakukanlah.
Berikan aku aroma yang menyenangkan dari genangan darahnya." ujar Mammonth sambil memberikan sebuah belati hitam ke tangan Ekhziel.

Ekhziel pun menggenggam erat pegangan belati itu dan melangkah perlahan menuju nenek itu.
Nenek itu melihat Ekhziel sambil tersenyum.
Sesaat keraguan timbul lagi dari diri Ekhziel saat melihat senyum wanita tua itu.

"Nak Ekhziel? Apakah kau bisa mengambilkan obatku yang ada di lemari dapur?" tanya nenek itu.

Ekhziel pun menyunggingkan sebuah senyuman sinisnya yang begitu dingin.

"Pikirmu aku budakmu hah!!" ujar Ekhziel sambil menyayat cepat leher nenek tua itu.

Seketika nenek tua itu menhgelepar kejang sambil memegangi lehernya yang sudah mengucurkan banyak darah segar.
Tak butuh waktu lama hingga wanita tua renta itu menghembuskan nafas terakhirnya.

"Bagus! Sekarang makanlah daging manusia itu." perintah Mammonth.

"Makan?" tanya Ekhziel.

"Iya! Makanlah! Apa kau takut?" tanya Mammonth.

"Tidak, aku tidak takut! tetapi bukankah membunuhnya saja sudah cukup? Kenapa harus memakannya juga?" tanya Ekhziel.

"Karena kekuatan yang sebenarnya ada di darah Chrierist itu.
Percayalah padaku." ujar Mammonth penuh keyakinan.

Ekhziel pun mendekati mayat nenek yang sudah tergeletak lemah itu.
Ia pun menyayat sedikit daging di tangan mayat itu dengan belati yang ia bawa.
Ia pun mencoba memakannya.
Pertama ia mencoba, ia merasa rasa aneh yang tak ia suka namun ia terus memakannya sampai habis.

Tiba-tiba kabut hitam menyelubungi tubuh Ekhziel dan merasuk ke dalamnya melalui mulutnya yang mana di sekeliling bibirnya penuh dengan lumuran darah segar.
Seketika kabut itu masuk sepenuhnya ke dalam dirinya.
Kedua matanya langsung berubah menjadi merah pekat.
Ia mengamati kedua tangannya dan merasakan perbedaan pada dirinya.
Ia menyunggingkan senyuman sinis menyukainya.

Ia pun menjajal kekuatan itu.
Di arahkan kedua tangannya menuju pintu keluar dan seketika kabut hitam keluar dari tangannya dan langsung meledakkan pintu itu dan sekitarnya.
Tak main-main efek kerusakan ledakan itu bisa mencapai hampir setengah kilometer jaraknya.
Membuat pohon-pohon besar di depan rumah kayu itu terbakar habis oleh ledakan tadi.

Rumah nenek itu memang berada di ujung hutan jadi hanya terdapat pohon-pohon besar di sekeliling rumah itu.

"Luar biasa! Aku suka kekuatan ini.
Aku bisa mengendalikan apapun yang kumau." ujar Ekhziel sambil tertawa puas.

"Kalau begitu saat ini mulailah mencari budak.
Tak akan ada lagi yang berani macam-macam padamu karena kekuatan ini." ujar Mammonth sambil tersenyum sinis dan menghilang dalam kabut.

"Hahaha...baiklah.
Namun sebelumnya aku akan mengambil ini." ujar Ekhziel yang meletakkan salah satu kakinya di dada mayat nenek itu untuk menahan lalu ia mencabut salah satu tangan nenek tua itu yang masih utuh dengan paksa hingga terpisah sudah dari tubuhnya.

"Jika kurasakan lagi ternyata daging manusia lezat juga.
Hahaha..." ujar Ekhziel sambil menggigit tangan nenek itu memakannya.

Ia melangkah keluar dari rumah kayu itu dan kemudian ia menoleh sesaat ke arahnya.

"Selamat tinggal nenek tua dan terima kasih untuk makanan penutupnya." ujar Ekhziel sambil melepaskan kabut kecil dari jemari tangannya ke arah rumah kayu itu.

Sesaat kemudian rumah kayu itu langsung dilalap api besar yang menghanguskan semuanya beserta mayat nenek tua renta itu hingga tak tersisa.
Ekhziel berjalan santai menyusuri hutan itu sambil terus mengunyah makanan penutup yang ia bawa sedari tadi dan melahapnya sampai hanya tersisa tulang belulangnya saja kemudian ia membuangnya.

Ia menjilati jemarinya yang penuh lumuran darah segar lalu tersenyum penuh kemenangan.

"Mulai saat ini namaku adalah Evil."

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang