Air mata

351 25 0
                                    

Sorenya Mark kembali ke rumah sakit.
Saat ia hendak berjalan ke arah koridor tiba-tiba handphone nya berbunyi.
Ia melihat nama Michael tertera di layar handphone.

"Aisshh...dasar.
Palingan ngingetin jangan lupa bawa ice cream." ujar Mark sambil menaruh kembali handphonenya ke saku celananya.

Ia pun dengan senyum senang segera berlari kecil menaiki anak tangga dan melangkah cepat ke arah kamar Boy.
Sesampainya di sana ia melihat beberapa orang berdiri cemas di depan kamar Boy.
Dan di antaranya ada aku dan Michael yang berdiri dengan wajah khawatir.

Aku tanpa sengaja menoleh ke arah kak Mark.
Aku melihatnya dengan tatapan cemas.
Michael melihat ke arah aku menjatuhkan pandangan lalu memanggil Mark.

"Mark!" panggil Michael.

Mark berjalan lunglai menghampiri kami.

"Apa yang terjadi? Ada apa dengan Boy?" tanya Mark panik.

"Tenanglah Mark, Felix dan lainnya sedang berusaha menyelamatkannya." ucap Michael berusaha menenangkannya.

"Apa maksudmu menyelamatkannya?
Ada apa dengan Boy?
Bukankah dia baik-baik saja!" ujar Mark kalut sambil menarik kerah baju Michael secara kasar.

"Kak hentikan.
Kau harus bisa kendalikan dirimu!" ujarku sambil mencoba melepaskan tangan Mark yang menarik kerah baju Michael.

"Cepat katakan apa yang terjadi!" sentak Mark sambil bersikukuh tetap menarik keras kerah baju Michael.

"Kak! Cukup! Hentikan!" pintaku sambil terus berusaha melepaskan tangan Mark.

"Boy sekarat Mark.
Keadaannya tiba-tiba memburuk.
Aku berusaha menghubungimu namun kau tak menjawabnya.
Keadaannya yang kemarin hanya pura-pura untuk membuatmu bahagia.
Namun pikirannya tetap berat dan kali ini ia benar-benar tak ada kemauan untuk hidup lagi.
Tubuhnya kali ini benar-benar dikalahkan oleh pikirannya." ucap Michael.

"Apa maksudmu kemarin ia hanya pura-pura sembuh?" tanya Mark.

"Tadi pagi saat Boy mengucapkan terima kasih kepadamu.
Ia melanjutkan kalimatnya dengan nada pelan seperti berbisik yang aku pikir hanya perasaanku saja." ucap Michael sedih.

"Memangnya apa?
Apa yang dikatakannya?" tanya Mark dengan nada tinggi.

"Untuk semuanya.
Terima kasih untuk semuanya.
Ia tahu ia akan pergi, maka dari itu..." ujar Michael terhenti sambil menitikkan air mata.

"Hentikan kak Mark.
Aku mohon tenanglah, Boy pasti selamat." ucapku sambil berderai air mata.

Mark perlahan melepaskan tangannya dari kerah baju Michael.
Wajahnya nampak memerah dan kedua matanya penuh dengan genangan air mata yang kemudian berhasil jatuh dan mengalir lembut di kedua sisi wajahnya.
Tiba-tiba pintu kamar Boy terbuka dan Felix keluar dari ruangan Boy lalu menghampiri kami.
Kami melihatnya dengan raut wajah penuh tanya.

Terlihat dari mata Felix yang sembab dan basah serta wajahnya yang nampak memerah.
Ia melihat kami kemudian menggelengkan kepala pelan lalu menunduk sedih.
Kantong plastik hitam yang berisi banyak ice cream itu kemudian terjatuh dari tangan Mark.
Ia menggelengkan kepala tak percaya.

Dengan cepat ia membuka pintu kamar Boy dan melihat tubuh seorang bocah yang telah ditutupi seluruhnya oleh selimut putih.
Aliran air mata Mark menjadi lebih deras.
Ia bahkan terus menggeleng tak percaya sambil berjalan lunglai mendekati tubuh bocah itu.

"Ini bukan kamu kan Boy?" tanya Mark sambil perlahan membuka selimut putih itu.

Saat selimut itu terbuka, ia melihat wajah Boy yang putih pucat namun bibirnya yang sudah membiru masih menyunggingkan sebuah senyuman terakhir yang masih bisa dilihat Mark.
Mark membelai rambut dan wajah bocah kecil itu yang terasa sangat dingin.
Ia terus membelainya sambil menangis tanpa bisa berkata apa-apa.
Ia mencoba menenangkan dirinya dengan melihat ke arah lain dan mengusap air matanya dari pipi putihnya.

Namun air matanya tetap tak mau berhenti mengalir.
Ia pun melihat wajah Boy lagi sambil meremas selimut putih itu kuat-kuat.
Kedua kakinya kehilangan keseimbangan dan kedua lututnya pun jatuh ke atas lantai.
Ia mengerang keras dalam tangisnya sambil menekan keras dadanya yang terasa begitu menyakitkan.

"TIDAKKKKK!!!!"

Michael (The End)Where stories live. Discover now