Darah

455 35 0
                                    

"AAAAAAAaaaaa.....!!!"

Aku berteriak sekencang mungkin.
Dadaku begitu sesak dan merasa sakit ketika aku melihat apa yang terjadi di hadapanku saat ini.

Puing-puing bangunan berserakan dimana-mana begitu juga dengan beberapa anggota tubuh manusia yang terpecah belah.
Darah berceceran di seluruh tempat.
Beberapa orang terkapar lemah di tanah dengan berlumuran darah bahkan hingga sebagian tubuh yang hangus terbakar.

Michael segera kembali merengkuhku dan membenamkan kepalaku ke dalam dadanya.

"Jangan lihat!" ujar Michael.

Tanganku gemetaran.
Air mataku mengalir tanpa bisa aku hentikan.
Rasa sakit dalam dadaku begitu menyiksaku.
Bukan takut melainkan geram aku melihatnya.
Bagaimana bisa manusia saling menghancurkan satu sama lain.
Bahkan selain tak takut mati mereka bahkan mengajak yang lain untuk menemani mereka menjemput maut.

Michael segera mengajakku pergi sedikit menjauh dari tempat itu.
Ia mendudukkanku di belakang gereja.

"Tunggu di sini dan jangan kemana-mana.
Aku segera kembali." ujarnya sembari mencoba menenangkanku.

Aku hanya mengangguk cepat.
Michael membalikkan badan dan berjalan menjauhiku.
Aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
Kemeja putih yang ia kenakan sekarang penuh dengan lumuran darah segar.
Aku semakin menahan erangan tangisku dan rasa sakitku.

Michael berjalan cepat menuju tempat kejadian ledakan tadi.
Ia menyadari ada seseorang di seberang jalan yang sedang mengawasinya sambil menyeringai sinis.
Ia terus menatap wajah orang itu dengan murka.
Begitu ada sebuah mobil yang melewatinya, orang itu tiba-tiba menghilang.

Michael berdecak kesal.
Ia kembali membantu orang-orang yang mencoba membantu para korban.

"Kau juga terluka anak muda." ujar salah seorang kepadanya.

"Aku tak apa. Mari kita menolong yang lain." ujar Michael meyakinkan.

"Sungguh? tapi kepalamu berdarah!" ujar orang itu lagi.

Michael mengusap sesuatu yang mengalir hangat di pelipisnya.
Ia melihat cairan merah kental yang berlumuran di tangannya.

"Iya.
Tapi aku tak apa. Jangan pedulikan aku." ujar Michael tegas.

Akhirnya Michael dan yang lain mencoba menyelamatkan mereka yang terluka.
Beberapa saat kemudian mobil-mobil ambulans dan mobil polisi pun berdatangan.

Sebuah mobil porsche gray melaju kencang dan berhenti tepat di dekat gerbang gereja.
Mark turun dari mobil dan langsung berlari cepat menuju ke dalam gereja.
Saat ia melihat apa yang terjadi di hadapannya saat itu, ia sangat terkejut dan merasa murka dengan semuanya.

Ia lebih terkejut lagi saat ia mendapati seseorang yang sedang berdiri di dekat pintu masuk gereja dengan kepala berlumuran darah.
Ia langsung menghampiri orang tersebut.

"Michael! Kau tak apa?" tanya Mark begitu khawatir.

"Akh Mark, kau kesini rupanya." ujar Michael.

"Kepalamu berdarah.
Mana Chiellyn?" tanya Mark gelisah.

"Dia baik-baik saja.
Aku suruh dia menunggu di belakang gereja.
Ayo kita jemput dia." ujar Michael sambil melangkah ke belakang gereja diikuti oleh Mark.

"Chiellyn! Kau tak apa?" tanya Mark khawatir melihatku duduk ketakutan.

Aku melihat Mark dan Michael sudah berdiri di hadapanku.
Aku hanya mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Mark.
Aku langsung berdiri ke arah Michael dan mengusap pelan cairan merah di keningnya.

"Kak Michael? Kamu kenapa?" tanyaku panik.

"Aku gak papa kok. Jangan khawatir." ujar Michael menenangkanku sambil berusaha menghapus darahnya yang ada di jemariku.

"Sudah.
Ayo kita ke rumah sakit sekarang juga." ujar Mark mengajak kami berdua.

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang