Dua Puluh Lima

82.5K 6.9K 339
                                    

Baca paling bawah setelah tulisan HAIFA.

🌸🌸🌸


Tidaklah seseorang itu diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.

(HR. Muslim)

***

Arvin melemparkan tasnya sembarangan ke meja belajar yang justru berakhir mengenaskan di lantai—dengan penghapus yang menggelinding keluar karena resleting tidak tertutup rapat. Setelahnya ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Arvin sedikit menungging dengan wajah yang terbenam bantal. Sekilas ia masih mendengar suara Arsel yang tertawa, tetapi hanya sesaat, setelahnya hening kembali. Sepertinya adiknya itu sudah menyadari tingkah lakunya yang terlalu urakan ketika di rumah.

Satu menit berada di posisi yang sama, Arvin mulai merasakan napasnya pengap. Ia membalikkan badannya menjadi terlentang menatap langit-langit kamar.

Berasa anak perawan gue pake malu-malu segala. Arvin membatin geli.

Arvin tidak tahu bagaimana perempuan lain bersikap ketika dihadapkan dengan calon suaminya. Tetapi melihat Haifa, ia tidak bisa menyimpulkan perempuan itu tengah malu-malu atau ogah-ogahan berada di dekatnya karena Arvin sendiri tidak tahu persis bagaimana ekspresi Haifa.

Tidak ingin pusing, Arvin cukup menganggap Haifa terharu karena akan menikah dengannya sampai tidak mampu hanya untuk sekedar menatapnya.

Putri Arselia Rajendra

Kak, cepetan keluar. Ini ada kak Arvan lagi ngobrol sama mbak Haifa loh.

Tanpa membalas pesan dari Arsel, Arvin segera beranjak dari berbaringnya kemudian membuka pintu kamar dengan tidak santai. Ia bahkan sedikit berjingkat mendengar bunyi tembok dan pintu yang bertabrakan ketika terbuka.

Arvin tidak menemukan Arvan dan Haifa yang sedang mengobrol seperti apa yang disampaikan adiknya itu, melainkan hanya Haifa yang berada tepat di hadapannya.

Yah, Haifa. Perempuan itu tepat di depan pintu kamarnya.

"Eh?" Haifa yang semula berjalan dengan santai, terbelit kakinya sendiri karena menghentikan langkahnya secara mendadak. Tubuhnya sedikit menunduk dengan tangan yang hampir menyentuh kaos Arvin bagian perut.

Menyadari posisinya, Haifa segera menarik tangannya yang sebelumnya terulur hendak memegang handle pintu, kemudian mundur beberapa langkah.

Arvin ikut terkejut tetapi tidak bergerak menjauh seperti yang dilakukan Haifa. "Ngapain?" tanyanya kemudian. Ia juga bingung dengan pertanyaannya sendiri.

Haifa gelagapan. Ia merasa ingin menangis. "Hah? Oh itu, aku mau ke kamar Arsel."

"Kok ke sini?"

Haifa menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati Arsel yang menutup mulutnya menahan tawa. "Tadi kata Arsel kamarnya di sini."

"Kamar Arsel di sebelah." Arvin menunjuk kamar di sampingnya.

"Tadi Arsel bilang—" Haifa tidak bisa meneruskan perkataannya. Suaranya semakin mengecil dan bergetar.

"Kamu dikerjain, 'kan tadi aku masuk sini duluan."

Haifa tidak begitu memerhatikan Arvin sebelumnya, jadi bukan salahnya jika ia tidak mengetahui dengan jelas ke pintu mana laki-laki itu masuk. Haifa memilin ujung jilbabnya. "Oh iya."

Arvin menunduk melihat Haifa yang juga tengah menunduk dengan badan yang menyamping. Kemudian ia melotot ke arah Arsel. "Adek, jangan jahil ya."

"Hahaha." Arsel tidak mampu menahan tawanya. Ia menghampiri Arvin dan Haifa. "Mbak maaf ya, nggak sengaja serius."

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang