Tujuh

99.5K 7.9K 559
                                    

Mengagumimu dan merasakan perasaan aneh yang orang-orang sebut sebagai cinta adalah fitrah untukku. Biarkan aku menyimpan cinta ini dalam diam, dan mengungkapkan rindu melalui panjatan doa pada Rabb-ku.

***

"Udah?"

Haifa mengangguk. "Iya, terima kasih ya. Besok aku ganti di kampus."

"Udah, nggak perlu dipikirkan masalah itu," ucap Arvin. "Ini kamu mau langsung balik?"

"Iya," jawab Haifa singkat. "Terima kasih ya, aku bener-bener nggak nyadar kalau nggak bawa uang tadi."

"Bilang terima kasih lagi, nggak aku izinin balik," ancam Arvin bercanda.

Haifa merenggut di balik cadarnya, matanya ikut melengkung karena tersenyum. "Yaudah, aku pulang dulu ya."

"Perlu dianter nggak?" Arvin menawarkan.

Haifa menggeleng pelan. Sesekali ia melirik beberapa pekerja rumah makan yang entah kenapa turut memperhatikannya sedari tadi. "Nggak perlu, deket kok."

"Yaudah hati-hati ya."

Arvin tersenyum menatap Haifa yang mulai menjauh. Ia tidak yakin apa sebelumnya pernah berpapasan dengan perempuan itu atau tidak, karena perempuan yang memakai cadar di fakultasnya juga bukan hanya Haifa.

Setelah Haifa sudah tidak terlihat lagi, Arvin kembali ke meja tempat Arvan yang masih menunggu makanannya. Kembarannya itu terus menatapnya ingin tahu.

"Apa?" tanya Arvin. Ia merasa risih karena Arvan terus menatapnya dengan pandangan selidik.

"Siapa?" Arvan membuka suara.

"Siapa? Gue? Parah banget lo nggak tahu, padahal kita sudah berbagi tempat tinggal selama di kandungan," celetuk Arvin seenaknya. "Eh, sampai sekarang juga masih berbagi tempat tinggal sih."

"Nggak jelas lo." Arvan menghela napas, baru memulai percakapan dengan Arvin saja ia sudah merasa lelah duluan. "Siapa perempuan tadi?"

"Kepo lo." Arvin mengedikkan bahunya acuh.

Arvan menyerah, ia tidak menyuarakan kembali pertanyaannya, lebih memilih memakan makanan yang baru tersaji di hadapannya. Ia sangat hapal dengan tingkah laku Arvin yang menurutnya sangat tidak jelas, dan begitu aneh.

"Kok diem, Van?" tanya Arvin akhirnya.

Arvan mengangkat sebelah alisnya, mempertanyakan maksud ucapan Arvin.

"Lo kok nggak tanya lagi siapa perempuan tadi? Paksa gue dong!" Arvin merampas sendok di tangan Arvan.

"Apa sih, nggak jelas banget lo," celetuk Arvan. Ia kembali merebut sendoknya dari tangan Arvin.

"Lo niat tanya nggak sih tadi?" heran Arvin. Ia memakan suapan yang ada di sendok Arvan, kemudian kembali mengambil sendok tersebut. "Tanya lagi makanya, nanti gue kasih sendoknya."

"Nggak," jawab Arvan singkat. Kemudian ia memilih makan menggunakan tangannya.

Arvin berdecak kesal, ia memang tidak pernah benar-benar berhasil mengganggu Arvan. Kembarannya itu sangat datar dan tidak mengasyikkan, tidak cocok sama sekali untuk menjadi partnernya.

"Itu tadi Haifa, yang ditunjuk sama bu Tia buat jadi wakil koordinator MTQ," jelas Arvin. Entah kenapa ia ingin sekali mengenalkan Haifa pada Arvan, bukan karena ingin menjodohkan mereka berdua, tetapi karena hanya ingin saja. Untuk alasan khususnya, biarlah menjadi rahasia antara Allah dan Arvin untuk saat ini.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang