Sembilan Belas

81.7K 6.1K 187
                                    

Kenapa dia yang kau harapkan justru menjauh? Itu karena dia bukan terbaik yang Allah tetapkan untukmu.

***

Begitu evaluasi MTQ selesai, Haifa lebih memilih untuk segera pulang daripada duduk-duduk santai menunggu hari semakin menggelap. Ia tiba di kos tepat azan isya yang langsung disambut oleh pelukan Rumaisa, ibunya.

Rumaisa tiba di Jakarta sekitar pukul empat sore, dan langsung menuju kos Haifa meskipun tahu anaknya itu masih ada kegiatan di kampus.

Haifa berbaring di pelukan Rumaisa, ibunya tampak menepuk-nepuk punggungnya pelan, sesekali mengusap rambutnya sayang. Setelah menyelesaikan kewajiban shalat isya yang dilanjutkan dengan tilawah bersama, keduanya lebih memilih bergelung di atas kasur sembari saling berbincang.

“Ibu capek nggak?” tanya Haifa.

“Enggak kok. Kan ibu udah biasa temenin ayah ke luar kota.”

“Beneran?”

“Iya, gimana acaranya tadi? Lancar?”

Haifa mengangguk. “Alhamdulillah, ternyata antusiasnya luar biasa banget.”

“Oh ya?”

“Iya, memang tergantung bagaimana kita aja yang harus memadai.”

“Alhamdulillah. Anak ibu udah suka ikutan kepanitiaan kalau gitu?”

“Yah, tergantung acaranya juga, Bu.”

Rumaisa tidak menimpali kembali. Ia hanya diam bergelut dengan pikirannya terlebih dahulu.

“Ayah nggak apa-apa ditinggal sendiri?” tanya Haifa.

“Nggak apa-apa, mbak sama masmu tidur di rumah kok.”

“Kan ayah nggak bisa tidur kalau nggak ada Ibu.” Haifa terkekeh.

Rumaisa tertawa. “Nggak segitunya juga, memang ayah aja yang alay.”

“Hahaha ayah pasti ngambek kalau ibu bilang begitu.”

Rumaisa hanya terbahak.

“Ibu beneran ‘kan udah makan?”

“Udah, ibu bawa banyak lauk-pauk tadi udah ibu taruh di kulkas. Kamu itu yang belum makan.”

“Haifa udah kok, tadi dikasih makan.”

Rumaisa mengangguk. “Ibu mau tanya nih.”

Haifa mengeratkan pelukannya di pinggang Rumaisa. “Dari tadi Ibu udah tanya kok.”

“Oh iya ya, hehehe.”

“Ibu aneh deh, jadi mau tanya apa?”

“Gimana kamu? Udah nggak apa-apa?”

Haifa terdiam untuk beberapa detik. “Apanya?”

“Yah, itu.”

“Nggak apa-apa kok. Lagi pula Haifa nggak mau lagi berharap sama manusia, cukup sama Allah aja.”

“Awas nanti kalau ibu ketemu sama Arvin, biar ibu suruh ayah pukul Arvin karena udah bikin anak ibu yang cantik ini nangis.”

Haifa tertawa dengan mata berkaca-kaca mendengarkan perkataan Rumaisa. “Haifa ketemu Arvin terus sampai acara tadi, ‘kan dia koordinator acara, Haifa wakilnya.”

“Oh ya? Terus gimana?”

“Yah, nggak gimana-gimana.”

Rumaisa menatap Haifa penasaran sembari merenggangkan pelukannya. “Dia nggak nyakitin kamu lagi ‘kan?”

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang