Dua Puluh Empat

85K 6.5K 214
                                    

Jangan terlalu fokus memikirkan jodoh, karena tidak peduli sedalam apa pun perasaanmu membara jika memang belum Allah tetapkan waktunya, dia tak akan datang.

***

Hampir satu bulan sejak kedatangan Haifa di kediaman Arvin, sekarang ia mulai akrab dengan keluarga laki-laki itu, terutama Ayu dan Arsel. Bagaimana pun Haifa tetaplah Haifa yang selalu malu-malu dan tidak berani menatap laki-laki yang bukan mahramnya terlalu lama, meskipun itu Abram, Arvan, atau pun Arsen.

Terkadang pikiran 'sebentar lagi akan menikah' berkelebat di bayangan Haifa. Benarkah demikian? Apakah ia sedang bermimpi? Karena yang masih terlintas di benaknya sebagai Haifa yang masih kanak-kanak, bukan Haifa yang berusia dua puluh tahun dan sebentar lagi akan melepas masa lajangnya.

Ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan yang kerap kali disinggung oleh Ayu serta orangtuanya. Haifa memang tidak diperkenankan ikut campur mengenai persiapannya dengan alasan harus fokus kuliah, tetapi setiap keputusan memang tetap berdasar olehnya dan Arvin.

Ah, Haifa masih tidak sanggup menyandingkan namanya dengan Arvin.

"Ini umi udah di depan FIA."

Haifa mencoba memfokuskan pendengarannya di ponsel yang ia tempelkan di telinganya. "Haifa sudah di luar juga, Umi di depan mana ya?"

"Sebelahnya perpustakaan yang di baliknya truk."

"Oh iya, Haifa jalan ke sana. Sebentar ya, Mi."

"Iya, kamu nggak perlu buru-buru kalau masih ada urusan."

Haifa mematikan sambungan telepon dari Arvin setelah mengucapkan salam. Ayu memang menghubunginya beberapa menit lalu menggunakan nomor laki-laki itu—entah apa alasanya—dan bisa dipastikan jika Arvin tengah berada di tempat yang sama dengan Ayu.

Haifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling, setelah menemukan tempat yang dimaksud Ayu, ia segera melangkahkan kakinya ke sana.

Ayu mengajak Haifa untuk ke rumahnya, sekaligus yang akan menjadi kunjungan pertamanya. Pertemuan sebelumnya saat mencoba gaun pengantin, langsung di tempat penjahit agar lebih memudahkan untuk mengubah jika memang ada yang tidak sesuai.

"Assalamualaikum." Haifa menundukkan kepalanya dan mencium punggung tangan Ayu.

"Waalaikumussalam. Beneran udah nggak ada acara apa-apa lagi 'kan habis ini?" Ayu menangkup tangan Haifa dengan kedua tangannya.

"Iya, sudah tidak ada acara lagi kok."

Ayu menggandeng lengan Haifa—mempersempit jarak di antara keduanya. "Ya udah, langsung main ke rumah umi aja ya?"

Haifa membalas dengan anggukan canggung.

"Umi pulang dulu, Kak."

"Iya, lain kali kalau Umi mau ke sini, kabari dulu biar sekalian barengan atau Arvin jemput."

Haifa menelan ludahnya gugup ketika mendengar suara khas laki-laki dari Arvin. Sekali lagi posisinya membelakangi laki-laki itu, ia benar-benar tidak berani menatap Arvin barang sejenak. Rasanya terlalu mendebarkan, sampai-sampai Haifa sendiri tidak bisa menenangkan jantungnya.

"Yah nggak apa-apa lah. Kan umi ke sini juga bukan buat nyamperin Kak Arvin, Kakak aja yang tadi tiba-tiba muncul di depan umi."

Arvin hanya terkekeh. "Iya, Arvin memang ada di mana-mana kalau di kampus."

"Ya sudah, umi pulang dulu ya?"

"Iya, hati-hati Mi."

"Iya. Assalamualaikum."

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang