Sembilan

98.9K 7.1K 295
                                    

Biar bacanya gak cepet abis, pelan-pelan aja wkwk. Jangan diskip baca hadits-hadits yang tertera biar bisa menangkap pesannya. Jika apa yang saya tulis kurang tepat, boleh mengoreksinya.

><

"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu."

(HR. Ahmad dan at Tirmidzi)

***

Begitu tiba di kelas kedua sekaligus kelas terakhirnya, Haifa langsung mengedarkan pandangannya, mencari sosok Shinta di dalam kelas. Setelah menemukannya, ia langsung memeluk temannya itu dengan gemas. Beberapa kali Haifa mengepalkan kedua tangannya sendiri karena tidak tahan untuk menahan perasaan yang semakin membeludak.

Bagaimana perasaan Haifa saat Arvin mengajukan ta'aruf? Apa yang terjadi dengan kondisi hatinya? Bagaimana Allah bisa mendengar dan mengabulkan doanya? Semuanya terasa nyata, bukan khayalan seperti apa yang selama ini bayangkan.

"Kenapa?" tanya Shinta heran.

Haifa menggelengkan kepalanya pelan, masih dengan tersenyum bahagia. Meskipun Shinta tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, tetapi itu semua masih bisa terbaca dari gerak-gerik tubuh Haifa.

Tidak berhenti berulang kali Haifa berdoa mengucapkan syukur karena Allah mendengar doa-doanya. Berulang kali ia juga memikirkan, apa Arvin benar-benar orang yang Allah tetapkan untuknya. Haifa masih tidak percaya, karena satu setengah tahun lebih, jangankan berada dalam posisi saat ini, mengenal laki-laki itu saja masih terasa mimpi.

Perasaan Haifa saat Arvin mengutarakan niat untuk mengajaknya ta'aruf, benar-benar tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sangat sulit merangkai perkataan yang sesuai dengan apa yang ia rasakan.

Jika Haifa boleh menggambarkan, mungkin jantungnya seperti hendak melompat karena terlalu keras bertalu. Bahkan jantungnya sudah menggila sedari Kanzia dan Nazla meninggalkannya berdua dengan Arvin kemarin.

Kemarin menjadi hari dimana Haifa merasakan bahagia dan sedih secara bersamaan. Bahagia karena apa yang diharapkannya akan menjadi kenyataan. Dan sedih karena terlalu berharap pada manusia. Ia bahkan sampai memikirkan apapun agar langkah awalnya dengan Arvin selalu berjalan lancar, berusaha agar selalu terlihat baik di mata laki-laki itu. Jika sudah seperti ini, apa namanya jika bukan berharap pada manusia?

"Aku sudah pernah merasakan kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia." (Ali bin Abi Thalib)

Haifa merasa terlalu menyukai Arvin. Ia meminta agar perasaannya tidak melampaui batas, cukup mencintai seseorang dalam tahap wajar, dan itu semua karena Allah.

"Kita mau ngerjain dimana ini?" tanya Shinta.

Mata kuliah statistika tiga sks hari ini digunakan untuk diskusi kelompok dan dikumpulkan hari ini juga. Dosen sedang ada urusan lain yang baru disampaikan pada ketua kelas begitu mahasiswa sudah menunggu di dalam kelas selama kurang lebih lima belas menit.

Sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mahasiswa kejadian seperti ini. Cukup dengan mematuhi peraturan, mengumpulkan tugas waktu, tentu tidak akan membahayakan nilai asal nilai Ulangan Harian, UTS, dan UAS terselamatkan.

"Di taman depan aja gimana? Kalau di perpustkaan kayaknya ramai jam segini," timpal Haifa. Ia memperlihatkan ponselnya pada Shinta yang menunjukkan pukul setengah sebelas siang.

"Yang di kursi bundar?" tanya Shinta memastikan.

Haifa mengangguk membenarkan. "Iya, ayo keburu penuh juga duduknya."

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang