Haifa Saqeenarava

138K 9.6K 157
                                    

Perempuan yang mulia adalah perempuan yang sederhana dengan kekayaan hatinya.

***

Haifa Saqeenarava, biasa dipanggil Haifa. Perempuan bercadar umur dua puluh tahun asal Semarang yang sedang menempuh kuliah semester empat Jurusan Ilmu Administrasi Publik, Program Studi Perpustakaan dan Ilmu Informasi. Ia mulai istiqomah dengan cadarnya sejak masuk kuliah.

Haifa mempunyai orang tua lengkap serta kakak perempuan yang bernama Ulfa. Kakaknya baru menikah setengah tahun yang lalu selesai mendapatkan gelar sarjananya. Orang tuanya tinggal berdua di rumah, sedangkan Ulfa tinggal bersama dengan suaminya, tetapi masih di Semarang.

Haifa sangat bersyukur lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi ilmu agama. Meskipun ibu dan kakaknya tidak memakai cadar seperti dirinya, tetapi keduanya istiqomah memakai jilbab panjang nan lebar.

"Oke kuman-kuman bandel, maaf hari ini kamu harus aku basmi," gumam Haifa. Ia sudah mengganti gamisnya yang sebelumnya dipakai ke kampus dengan baju rumahan santai.

Selain kuliah di hari Senin-Jumat, Haifa tidak mempunyai kegiatan di kampus selain kajian rutinnya. Selain menjadi pendengar, ia juga sering menjadi pembicara dengan diundang untuk mengisi kajian ataupun menjadi motivator—dengan catatan panitia, peserta, atau pun yang terlibat semuanya perempuan.

Bagi orang lain yang mengagumi Haifa, perempuan itu merupakan sesosok yang bisa dijadikan panutan. Tetapi bagi Haifa, ia tidak seistimewa itu untuk berada di posisi tersebut.

Haifa tidak pernah menyesal menjadi sibuk seperti pilihannya sekarang, justru ia akan menyesal jika lebih sibuk dengan kegiatannya di kampus.

Haifa tidak menyebutkan larangan untuk mengikuti organisasi atau kepanitian di kampus, karena memang itu bukti keaktifan mahasiswa yang bisa mempermudah menggapai cita-cita. Tetapi yang ingin ia luruskan, jangan terlalu sibuk mengejar urusan dunia sampai lupa dengan ilmu agama yang akan menjadi tabungan di Hari Akhir nanti.

Karena yang Haifa simpulkan setelah satu setengah tahun di bangku kuliah, teman-temannya terlalu terlena dengan urusan-urusan dunia yang menyibukkannya itu. Dan hanya mengingat Allah, jika sempat.

Jika setiap orang mau membuka mata, tentu mereka akan menyadari bahwa dunia hanyalah permainan semata, dan akhirat lah tempat tinggal sesungguhnya.

  وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ  

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut 64)

Oleh karena itu, Haifa tidak ingin hanya fokus dengan dunia, karena sesungguhnya ilmu agama harus lebih diperbanyak. Haifa juga meyakini, bahwa saat ia mengejar akhirat, maka dunia itu akan mengikuti.

Tetapi bukan berarti Haifa tidak memperhatikan kuliahnya, karena pada kenyatannya, Haifa selalu mendapat IP mendekati nilai empat di setiap semesternya.

"Haahh.. akhirnya selesai juga, berasa baru pindahan." Haifa memperhatikan kamar kosnya yang sudah terbebas dari debu.

Selain itu, kemahiran Haifa dalam memasak sudah tidak diragukan lagi. Meskipun belum pernah membuat suatu jenis masakan, tetapi begitu melihat resep dari internet, ia bisa langsung menguasai seolah sudah hafal takaran-takarannya di luar kepala.

Jika ditanya apa Haifa ingin menikah muda, jawabannya adalah iya—seseorang yang sudah mengenal sunnah pastilah ingin segera menikah, karena agama seseorang belum sempurna kecuali dengan menikah—salah satu buktinya dengan belajar menguasai banyak masakan.

Seorang istri memang bukan tukang masak untuk suami, tetapi ia ingin membuat suaminya selalu merindukan rumah sehingga tidak menemukan rumah lain untuk pulang selain dirinya. Pada intinya, Haifa adalah kandidat terbaik sebagai calon menantu.

"Mbak Rahmah," panggil Haifa pelan. Ia mengetuk pintu kamar di sebelah kamarnya.

"Kenapa Fa?" tanya Rahmah setelah membukakan pintu.

Haifa menyerahkan lumpia dari Semarang yang dibungkus dengan wadah mika. "Ini dari rumah mbak. Tapi belum digoreng, soalnya siapa tahu mau dimakan nanti-nanti, 'kan bisa goreng sendiri di dapur," ucapnya terkekeh.

"Ya Allah, kamu repot-repot segala, terima kasih ya. Aku gak bawa apa-apa loh." Rahmah berkata dengan sungkan.

"Ihh, nggak apa-apa Mbak, santai aja."

Kemudian Haifa kembali memasuki kamar setelah selesai memberikan lumpia pada lima kamar lainnya. Kos Haifa berbentuk rumah yang terdiri dari tujuh kamar, dan sudah hampir dua tahun ia menempatinya dan tidak ada niatan untuk pindah karena sudah menemukan kenyamanan.

Sembari tiduran mengistirahatkan badannya yang lelah, Haifa memainkan ponselnya membuka instagram. Ia suka melihat postingan akun dakwah, karena dari sana, ia banyak menjadikannya sebagai pengingat jika imannya mulai goyah.

Haifa menyukai postingan itu sembari menghubungkan dengan keadaannya sekarang.

DakwahSunnah Tata kembali niat hijrahmu, perbaiki dirilah karena Allah, bukan hanya semata karena jodoh. Jangan sampai pula karena terlalu memikirkan tentang jodoh, justru membuat imanmu roboh.

"Kenapa ngena banget?" batin Haifa tercubit.

Sepertinya Haifa harus mempertebal keimanannya kembali yang akhir-akhir serasa turun karena kondisi di sekelilingnya. Kadang kala Haifa berpikir, seandainya ia tidak kuliah dan tetap tinggal di lingkungannya di Semarang, pasti Haifa lebih mudah menjaga iman.

Apa Haifa harus menyalahkan Arvin yang seenaknya menjadi tokoh utama akan perasaannya yang tidak boleh ada—karena terlalu dalam? Tetapi sepertinya ia tidak mempunyai hak sama sekali, karena pada kenyataannya, Haifa sangat yakin jika Arvin tidak mengetahui perasaannya. Jangankan perasaan, tentang sosoknya yang ada saja ia meragukan itu.

Miris sekali.



-HAIFA-

Malang, 11 April 2018

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang