Dua Puluh Dua

85K 6.5K 275
                                    

Jangan menikahi seorang perempuan hanya dengan dalih mampu memberi nafkah, tetapi nikahilah juga karena percaya mampu membimbing sampai Surga.

***

Haifa sudah membuat surat izin tidak mauk kuliah untuk beberapa hari ke depan. Dan di sinilah ia sekarang, duduk di dalam pesawat sembari memandangi indahnya langit. Haifa akan pulang ke Semarang untuk melaksanakan khitbahnya bersama Arvin.

Haifa tidak tahu lagi bagaimana kondisi debaran jantungnya di sepanjang perjalanan, yang pasti ia sangat gugup.

Setelah Haifa menjawab lamaran Arvin, dua minggu setelahnya diputuskan untuk lamaran secara resminya di Semarang. Sebenarnya ia sedikit sungkan karena membuat Arvin bolak-balik, tetapi keluarga laki-laki itu mengatakan tidak keberatan karena memang sudah seharusnya demikian.

Satu hari setelah diputuskan tanggal khitbah, saat itu Haifa baru saja belanja sayur dan lauk untuk makan malam, dikejutkan dengan kedatangan Arvin dan Ayu di depan kosnya. Itu pertama kalinya ia bertemu dengan Ayu.

Kedatangan Ayu dengan alasan mengajak Haifa untuk berangkat bersama ke Semarang. Haifa ingin menyetujui, tetapi masih merasa terlalu canggung.

"Nanti barengan umi sama abi sama kakak adiknya Arvin juga."

Haifa tersenyum malu-malu meskipun hanya terlihat dari matanya. Beberapa saat lalu Ayu memang menyuruhnya untuk memanggil dengan sebutan 'umi'.

Ruang tamu yang biasanya Haifa gunakan untuk mengobrol dengan keluarganya ketika berkunjung, sedang direnovasi untuk dijadikan kamar lain—sangat disayangkan, tetapi lagi pula sebentar lagi Haifa tidak akan tinggal di kos ini lagi 'kan? Yah, mungkin. Sehingga pada akhirnya ia mengajak Ayu cukup untuk duduk di teras depan kos karena sebelumnya Ayu menolak untuk diajak masuk.

Sedangkan Arvin, sebenarnya Haifa tidak bisa menahan senyuman gelinya ketika laki-laki itu disuruh menunggu di dalam mobil yang diparkir depan gang sementara ia mengobrol dengan Ayu.

"Kak Arvin tunggu di mobil aja," pinta Ayu.

"Kok gitu?"

Haifa tidak berani mengalihkan pandangannya pada Arvin, tetapi setelah merasakan Ayu dan Arvin bertukar tatapan, tidak lama setelahnya laki-laki itu izin pergi.

"Yaudah Arvin tunggu di mobil."

"Iya, umi nggak lama juga kok."

"Nanti kalau udah selesai, Arvin ke sini lagi."

"Ngapain? Nggak usah, umi langsung ke depan gang sendiri."

Dari sudut matanya, Haifa melihat Arvin mengangguk kecil dengan ragu-ragu.

"Emm.. aku duluan ya, Fa."

Haifa bahkan tidak menatap Arvin ketika laki-laki berpamitan padanya. Ia hanya bisa menunduk dan mengangguk dengan malu-malu. "Iya."

Ah, Haifa merasakan kakinya lumer.

"Gimana Fa? Nanti umi jemput juga di sini?"

"Emm.." Haifa sama sekali tidak pernah berada dalam kondisi seperti ini. Ia ingin mengeluarkan sepatah kata, tetapi entah mengapa terasa sulit.

"Kalau Haifa malu karena ada Arvin, biar umi suruh berangkat sendiri dia." Ayu mencoba bernegosiasi.

Haifa mengelak cepat. "Nggak perlu, Mi."

"Kenapa? Berarti Haifa mau barengan ya?"

"Bukan begitu, maksudnya itu.. sepertinya Haifa berangkat lebih dulu ke Semarang."

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang