Lima

105K 7.4K 112
                                    

Sampai hari ini, namamu masih ada dalam lantunan-lantunan doaku. Tanpa mengenal lelah aku memintamu, berharap Allah memang menakdirkanmu untuk mengisi tulang rusukku.

***

"Woy!" Arvin tersentak karena merasakan tepukan keras di bahunya.

"Belum pulang lo?" lanjut orang itu tanpa rasa bersalah.

Arvin memicingkan matanya kesal, hampir saja ponselnya terjatuh mencium tanah. "Jangan suka ngagetin gue deh, Qi."

Rifqi terbahak, "Sorry, gitu doang ah lebay lo."

"Masalahnya gue kaget, kalau gue jantungan, mau lo tanggung jawab?" Arvin menceletuk dengan seenaknya.

"Hem, iyain deh," jawab Rifqi tidak minat. "Arvan lagi ada kerjaan di luar ya? Di luar mana?" tanyanya kemudian.

"Luar rumah," jawab Arvin seenaknya.

Rifqi memukul bahu Arvin karena kesal dengan jawaban laki-laki itu. "Serius gue."

"Gue 'kan udah pernah bilang nggak bisa seriusin hubungan kita," timpal Arvin seenaknya. Ia juga membalas memukul bahu Rifqi.

"Sakit!" umpat Rifqi.

"So?"

"Udah ah, ini juga tumben lo belum pulang? Biasanya kalau nggak ada rapat langsung cabut." Rifqi mencoba menahan rasa sakit di bahunya.

"Kepo lo," sela Arvin.

"Ditanya beneran juga," celetuk Rifqi kesal. "Betewe, gue nebeng dong habis ini pulangnya."

Arvin hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Beneran ya? Anterin gue sampai kostan," ancam Rifqi.

"Iya, habis ini gue ke sini lagi shalat isya. Sekarang mau pergi sebentar," jelas Arvin.

"Kemana? Mau cari makan?" tanya Rifqi penasaran.

"Mau tahu banget lo," celetuk Arvin songong. "Udah ah sana lo! Mau shalat juga pakai mampir-mampir dulu."

"Kan biar sekalian nanti mendekati isya." Rifqi menimpali dengan santai.

"Sekalian, sekalian pala lo, emangnya lo yang ngatur waktu shalat, mau seenaknya aja. Udah sana ah, gue mau pergi!" Arvin mendorong punggung Rifqi, berharap laki-laki itu segera pergi.

Entah kenapa Arvin tidak ingin Rifqi mengetahui bahwa ia sedang menunggu Haifa. Entahlah Arvin tiba-tiba merasa malu.

Dalam keheningan Arvin berjalan yang diikuti oleh Haifa di belakangnya. Di sepanjang perjalanan melewati gerbang Fakultas Pertanian, begitu sepi, hampir tidak ada orang yang melintas bersama mereka. Ia meninggalkan motornya di parkiran, dan lebih memilih mengantar Haifa ke kostnya dengan berjalan kaki.

"Kamu seharusnya nggak perlu nganterin aku," cicit Haifa pelan.

Meskipun Haifa berjalan di belakang Arvin dengan jarak yang cukup jauh, tetapi karena memang suasana yang begitu hening, Arvin dapat mendengarkan dengan jelas ucapan Haifa. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.

Haifa terus mengikuti Arvin melewati gerbang Fakultas Pertanian. Sekarang, mereka sudah ada di jalan raya dengan suasana khas anak kuliahan.

"Loh kamu mau kemana?" cegah Haifa heran. Ia sedikit bingung karena melihat Arvin yang sepertinya belum ada tanda-tanda akan kembali masuk Kampus.

"Nganterin kamu 'kan?" Arvin menolehnya kepalanya ke belakang memastikan. Menyadari Haifa yang sedari tadi menggunakan aku-kamu, membuatnya sedikit sungkan, dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti gaya bicara perempuan itu.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang