Sepuluh

94.9K 7.1K 344
                                    

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."

(QS. Luqman: 14)

***

"Hoahh.."

Arvin merenggangkan kedua tangannya sembari menguap dengan keras begitu terjaga dari tidurnya. Mungkin jika Ayu melihat tingkahnya barusan, bisa dipastikan ia akan mendapatkan ceramah panjang lebar mengenai setan yang akan tertawa jika mengeluarkan suara saat menguap.

"Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu bila salah seorang dari kalian bersin lantas dia memuji Allah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit kepadanya (mengucapkan "yarhamukallah"). Adapun menguap, maka dia dari setan, bila seorang menguap hendaklah dia menahan semampunya. Bila seorang menguap sampai keluar ucapan 'haaah', setan akan menertawainya." (HR. Al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)

Hari ini Arvin tidak ada kelas, karena dosen yang mengisi kelas hari ini tidak bisa hadir dan meminta kelas pengganti atau yang biasa disebut sebagai make up class. Hampir semua teman kelasnya mengeluh tidak menyukai kelas pengganti karena memang make up class selalu dilakukan pada malam hari. Itu karena kelas yang kosong dan bisa dipakai baru ada sekitar jam enam malam.

Kalau Arvin sih, hanya pasrah saja.

"Katanya mau nikah, masih aja susah dibangunin," cibir Ayu.

Arvin yang baru saja keluar dari kamarnya langsung disuguhi pemandangan Abram, Ayu, dan Jamilah yang sedang mengobrol di ruang keluarga. Mengenai Jamilah, neneknya yang mahir bahasa Jawa itu benar-benar tidak ingin kembali ke Bandung.

Bahkan ketika Soni dan Eli, tante dan om Arvin yang tinggal bersama dengan Jamilah menjemput untuk yang kedua kalinya, neneknya itu tetap menolak. Jamilah masih tidak ingin berjauhan dengan cucu-cucunya yang mulai beranjak dewasa.

"Yang penting masih ganteng 'kan Nek?" Arvin meminta pembelaan Jamilah.

"Nggak nyambung banget jawaban kamu itu," sela Jamilah.

Arvin yang memang masih belum sepenuhnya tersadar dari tidurnya, hanya menerima dengan pasrah ucapan Jamilah. Ia lebih memilih ikut duduk di tengah-tengah keluarganya.

"Abi kok nggak ngantor?" tanya Arvin. Ia sedikit heran melihat Abram yang duduk santai dengan baju rumahan sembari mengunyah camilan.

"Nih." Abram memperlihatkan tangannya yang sedang digenggam Ayu.

"Hahh.." Arvin menghela napasnya pelan. Padahal hampir setiap hari ia melihat keromantisan orangtuanya, kenapa ia masih merasa itu tidak biasa.

"Abi sama umi kamu itu, dari tadi mamanya di sini malah ditinggal romantis-romantisan," adu Jamilah. Ia mendorong bahu Arvin dengan keras bermaksud menyuruh cucunya itu memarahi Abram dan Ayu.

"Ya Allah, Nek. Jangan dorong-dorong! Nanti Arvin terjatuh dan tak tahu arah jalan pulang," ucap Arvin ngawur.

Jamilah menatap Arvin tidak mengerti. "Ngomong apa sih kamu?"

Ayu cekikikan, sedangkan Abram masih memasang ekspresi santai. Tangan kirinya membalas genggaman Ayu, sedangkan tangan kanannya tidak berhenti mengambil camilan dari toples untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.

"Nggak ngomong, Nek. Arvin kumur-kumur," celetuk Arvin.

"Ohh."

Arvin yang sudah menyerah karena merasa sedari tadi obrolannya dengan Jamilah tidak saling nyambung, hanya mendesah pasrah.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang