Tiga Belas

87.5K 6.7K 152
                                    

Segala persoalan dalam hidup ini sesungguhnya tidak untuk menguji kekuatan dirimu, tetapi menguji seberapa besar kesungguhanmu dalam meminta pertolongan Allah.

(Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

***

Haifa memeriksa kalender di ponselnya dengan kening yang berkerut tampak bingung. Sudah tiga minggu berlalu dari awal ia ta'aruf dengan Arvin, tetapi sepertinya laki-laki itu belum menunjukkan tanda-tanda akan ke tahap selanjutnya.

Bukan berarti Haifa ingin terlalu terburu-buru, jika pada kenyataannya menikah bukan hanya untuk satu atau dua hari, perlu pasangan yang sesuai agar tidak salah pilih dan menyesal di kemudian hari.

Tidak terhitung berapa kali orangtua Haifa bertanya mengenai hal demikian, dan menyuruhnya untuk memastikan kapan tepatnya Arvin siap untuk menikah.

"Ini mungkin kesalahan ibu juga karena nggak mengingatkan, tapi seharusnya sebelum memutuskan menerima ta'aruf, kamu tanya dulu Arvin siap menikah kapan jadi biar nggak digantung begini."

Haifa masih mengingat dengan jelas perkataan Rumaisa dua hari yang lalu, saat ibunya itu menelepon dan menanyakan mengenai kelanjutan hubungannya dengan Arvin.

"Coba sekarang kamu tanya Arvin mau menikah kapan?" nasihat Rumaisa. "Terlepas dari nanti kalian mau lanjut atau nggak, seenggaknya kita tahu kapan Arvin itu siap menikah."

"Yah malu lah Bu, nanti kesannya Haifa maksa," celetuk Haifa.

"Yaudah nanti ibu suruh mas Rudi buat bilang ke Arvin," saran Rumaisa.

"Jangan dulu Bu, lagipula masih belum satu bulan 'kan ini?" Haifa bukan tidak ingin kejelasan dari Arvin, ia sangat ingin. Hanya saja Haifa tidak ingin terlalu terburu-buru yang justru akan membuat pihak Arvin tertekan, mungkin.

"Terus masalahnya dimana? Mbakmu ta'aruf sama mas Rudi cuma seminggu kok," sanggah Rumaisa.

"Kan tiap orang beda-beda prosesnya," elak Haifa.

"Yaudah terserah kamu yang penting ibu sudah mengingatkan ya?"

Haifa menghela napas pelan setelah kembali memikirkan ucapan Rumaisa. Selama dua hari ini beberapa kali ia menimang apakah perlu menghubungi Arvin dan menanyakan seperti apa yang ibunya perintahkan, tetapi sepertinya Haifa merasa terlalu tergesa-gesa jika melakukan demikian.

"Apa emang harus minta mas Rudi ya?" gumam Haifa. "Tapi malu juga." Ia terus berdebat dengan pemikirannya yang justru membuatnya semakin bingung.

Aduh gimana ya enaknya?

Drrrtt Drrrtt

Seolah mendapatkan jawaban atas renungannya, ponsel Haifa bergetar dan menampilkan nama Ulfa, kakaknya. Sepertinya ia mulai merindukan saat-saat bisa curhat bebas dengan Ulfa sebelum kakaknya itu berkeluarga dan ia merantau jauh untuk kuliah.

Haifa dan Ulfa hanya berbeda tiga tahun, tidak terhitung sudah berapa kali keduanya saling berbagi rahasia termasuk mengenai laki-laki yang pernah disukai atau hanya sekedar cinta monyet khas anak remaja. Berbeda dengannya yang merantau dan kuliah di Jakarta, kakaknya itu lebih memilih kuliah di kota mereka tinggal dan dibesarkan, Semarang.

Haifa juga masih mengingat dengan baik ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah dan menyampaikan maksud untuk meminang Ulfa.

Saat itu Haifa yang memang sedang libur semester genap hendak memasuki semester tiga, mengobrol santai dengan Ulfa dan orangtuanya di ruang keluarga tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan seorang laki-laki asing beserta walinya meminta Ulfa untuk menjadi istrinya. Laki-laki asing itu, Rudi, yang sekarang menjadi suami kakaknya mengaku sebagai kakak tingkat dua tahun di atas Ulfa.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang