Delapan

95.4K 7.4K 283
                                    

Info yaa, cerita ini alurnya maju mundur. Jadi, jangan pada bingung ehe

Saat laki-laki jatuh cinta, tidak perlu memberi harapan yang tidak kunjung ada kepastian, cukup langsung datang melamar megikatnya dalam kehidupan pernikahan.

***

Suara-suara yang bersahutan di sekeliling Arvin sama sekali tidak membuatnya terselamatkan dari suasana canggung saat ini. Ia hanya tersenyum kaku menatap Haifa yang hanya menunduk. Meskipun Arvin tidak bisa melihat dengan persis ekspresi perempuan itu, ia bisa mengetahui kalau Haifa tengah tersenyum malu-malu dari matanya.

"Emm." Haifa membuka suaranya.

Arvin tersenyum kecil menatap Haifa yang mulai mendongakkan kepalanya, hanya menatapnya sekilas kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Emm ini—" Haifa menggantungkan ucapannya.

"Ya?" Arvin dengan sabar menunggu kelanjutan ucapan Haifa.

"Yaudah.. Iya," cicit Haifa.

Dengan canggung Arvin mengusap lengannya entah dengan tujuan apa. "Iya," ucapnya tidak jelas.

"Kalau begitu, ini aku bawa?" tanya Haifa memastikan.

"Iya." Arvin mengangguk. "Nanti kamu bikin proposal kayak gitu juga ya kasihkan aku."

"Iya." Haifa mengangguk kecil. "Emm, ada yang mau diomongin lagi?

Arvin menggeleng dengan cepat. Sedetik kemudian ia merutuki tindakannya itu karena mungkin akan terlihat memalukan.

"Kalau begitu aku duluan deh. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelahnya Haifa berdiri dari duduknya, berlalu pergi dari hadapan Arvin. Sedangkan Arvin hanya bisa menahan jeritannya yang tiba-tiba meluap.

"Hahh.. Tarik nafas keluarkan hahh." Arvin bergumam pada dirinya sendiri. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang mungkin sedang memperhatikannya serta menganggapnya aneh.

Arvin lebih memilih untuk pergi juga dari tempat itu, dan berlalu menuju ruang BEM untuk menjernihkan pikirannya kembali. Jangan disangka ia tidak mengalami kegugupan sama sekali saat menyerahkan proposal ta'aruf pada Haifa, karena pada kenyataannya, entah sudah berapa lama Arvin berdebat dengan pikirannya karena keberanian yang sudah ia kumpulkan selama beberapa hari menghilang entah kemana.

Semua bermula pada kejadian beberapa hari lalu saat bertemu Haifa di rumah makannya, lebih tepatnya kejadian lima hari yang lalu. Meskipun saat itu Arvin tidak begitu serius dalam bercerita yang membuat Arvan justru merasa kesal padanya, tetapi ia benar-benar merenung mengenai perasaanya.

Hal itu membuat Arvin menggedor pintu kamar Arvan di malam harinya karena ia benar-benar butuh teman cerita. Arvin perlu pencerahan dari kembarannya itu, bagaimanapun Arvan sudah mempunyai pengalaman dengan seorang perempuan meskipun tidak berakhir sesuai yang direncanakan.

"Van," ucap Arvin lesuh. Ia membanting tubuhnya ke kasur Arvan.

Arvan yang memang sedang tidak melakukan apapun, dan hanya memainkan ponselnya bosan, menanggapi Arvin dengan santai. "Kenapa?"

"Gue mau cerita," celetuk Arvin.

"Kalau lo gak niat cerita kayak tadi, mending gak perlu dimulai," timpal Arvan. Ia memang sedikit kesal dengan ulah Arvin, tetapi biar bagaimanapun mereka tetap anak kembar yang bisa merasakan suasana hati masing-masing meskipun tidak terlalu.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang