Lima Belas

80.5K 6.3K 162
                                    

Jangan risau, percayalah pada ketetapan Allah. Tidak peduli berapa jarak yang membentang dan badai yang menghantam, karena jika Allah sudah menuliskan namaku dalam lauhul mahfudz untukmu, aku akan datang untuk melengkapi separuh agamamu.

***

Setelah menunggu sekitar lima menit di depan gang kostnya, penantian Haifa terbayar sudah. Ia tersenyum dengan lebar hingga membuat matanya menyipit tatkala melihat seseorang yang sedang menghampirinya dengan senyum lebarnya pula.

"Haifa."

"Mbak Ulfa."

Keduanya berpelukan dengan sedikit menghentakkan kecil kaki mereka.

"Dek, jangan bertingkah begitu!" tegur Rudi. Ia yang sedari tadi berjalan di belakang Ulfa, sediki menarik lengan istrinya itu agar menghentingkan tingkahnya.

"Hehehe kelepasan," kekeh Ulfa.

"Assalamu'alaikum Mas Rudi." Haifa menangkupkan kedua tangannya seraya tersenyum kecil yang terlihat dari matanya.

"Wa'alaikumsalam, Fa. Gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik, Mas. Hehehe."

Sekitar tiga hari setelah Haifa bertukar cerita dengan Ulfa, ia dikejutkan dengan telepon mendadak dari kakaknya itu yang mengatakan sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Rudi sedang ada pekerjaan, dan Ulfa yang memang terbiasa mengikuti perjalanan kerja suaminya itu tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan Haifa.

"Kenapa Mbak nggak bilang sebelumnya sih kalau mau kesini? Kan Haifa bisa siap-siap," ucap Haifa.

"Siap-siap apaan sih emang? Biar kejutan dong," jawab Ulfa.

Saat ini mereka bertiga sedang berada di ruang tamu yang biasa digunakan saat ada kunjungan keluarga di kost Haifa. Ruangannya terpisah dengan kost, tetapi masih terhubung dan satu bagian, sehingga penghuni kost lain tidak merasa terganggu atau sungkan.

"Mas sama Mbak menginap?" tanya Haifa.

"Iya, udah disediain hotel. Tapi besok juga udah balik lagi ke Semarang," jawab Rudi.

"Kok cepet banget sih," keluh Haifa. Ia ingin mengajak Ulfa untuk menginap di kostnya, tetapi itu rasanya tidak mungkin mengingat status kakaknya itu sudah jadi istri orang. Ah, Haifa jadi baper.

"Ngomong-ngomong, perut Mbak mulai kerasa ya." Haifa menyentuh perut Ulfa yang masih belum membesar ditambah dengan gamis yang menyamarkan bentuk perutnya.

"Iya, hehehe." Sedari tadi yang dilakukan Ulfa hanya tersenyum dan terkekeh, aura calon ibu muda memang tidak bisa dibohongi.

"Gimana rasanya mengandung Mbak? Bahagia?" tanya Haifa.

"Aduh gimana ya? Nggak usah ditanya gimana bahagianya, yang pasti mbak bahagia banget dikasih amanat luar biasa oleh Allah," celoteh Ulfa. "Tapi kadang ngerasa parno sendiri, bayangin yang aneh-aneh, gimana kalau misalkan nanti perut mbak kepentok meja, pintu, atau nggak tiba-tiba terpeleset, 'kan serem."

"Ya Allah, Mbak aneh-aneh aja deh pikirinnya," timpal Haifa.

"Namanya juga takut Fa, pokoknya sekarang semua harus serba hati-hati."

Haifa tersenyum, duduk menghadap Ulfa dan masih terus mengusap perut kakaknya itu, sedangkan Rudi ada di seberang tempat duduk mereka hanya menyimak obrolan kakak adik tersebut. Sesekali membalas senyum Ulfa yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Sudah enam minggu ya Mbak?"

"Iya hehehe."

"Ketawa terus dari tadi," celetuk Haifa.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang