Tujuh Belas

85.7K 6.4K 106
                                    

Mungkin sebelumnya aku telah lalai, terlalu berharap pada sesuatu hal, sehingga sekarang aku ditimpa kekecewaan.

***

Lima hari telah berlalu setelah pertemuan Arvin dengan kakak Haifa. Kini ia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Sesuai dengan petuah dari Rudi, serta Abram maupun Ayu yang sudah mengetahui letak permasalahannya, Arvin mencoba menata kembali kemantapan hatinya.

Berulang kali Arvin meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar siap, tidak peduli bagaimana respon Haifa mengenai kelabilannya akhir-akhir ini.

Arvin mengingat ketika menjelang malam masih di hari yang sama dengan pertemuan tersebut, Abram yang belum pernah marah menaikkan suaranya satu oktaf.

"Kalau kamu belum siap untuk menikah, seharusnya jangan memaksa! Kemampuan setiap orang itu beda-beda, jangan hanya ikut-ikutan tren."

Kala itu Arvin hanya mampu menunduk, tidak ada raut jenaka yang biasanya ia tampilkan setiap hari.

"Kalau begini kasihan Haifa yang jadi bahan mainan kamu."

"Arvin nggak main-main, Bi," elak Arvin lirih.

"Kalau nggak main-main terus ini apa? Seharusnya kalau nggak cocok langsung bilang, bukan justru mengulur waktu."

"Udah, Abi jangan marahin kak Arvin!" lerai Ayu. "Ayo Kak masuk kamar!"

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arvin meringkuk di pelukan Ayu dengan air mata yang tidak disadarinya menerobos keluar.

Bodoh! Gue mau nangis, nggak ada yang tahu ini.

Meskipun Arvin mengakui kesalahannya, tetapi ia juga tidak mengelak jika merasa sedikit tertekan. Arvin seperti berjalan di lorong yang gelap, tanpa mengetahui ada sakelar lampu, ia berusaha mencari jalan keluar sendiri.

"Kak Arvin," tegur Nazla.

Arvin yang sedang duduk di lantai membantu dekorasi MTQ fakultas bersama dengan anggota divisi PDD (Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi) mendongak, "Kenapa La?"

Karena terlalu sibuk dengan permasalahannya, Arvin tidak sadar MTQ hanya tinggal menghitung hari. Ia bahkan harus merasakan geplakan dari Arvan sebagai ketua pelaksana agar fokus membantu mensukseskan acara tanpa mencampurkan dengan urusan pribadi, begitu kata kembarannya itu.

Bagaimanapun juga Haifa yang menjadi tokoh utama turut ikut serta, ditambah lagi sebagai wakilnya dalam mengkoordinasi acara. Semakin kacaulah hati Arvin.

Mendekati acara seperti saat ini, PDD menjadi divisi yang paling sibuk. Oleh karena itu dari awal rapat besar atau rapat gabungan antara semua divisi—seperti BPH (Badan Pengurus Harian, terdiri dari Ketua Pelaksana, Wakil Ketua Pelaksana, Sekretaris, Bendahara), divisi acara, PDD, konsumsi, dan divisi lain yang berhubungan dengan event—Arvin sebagai koordinator acara selalu mewanti-wanti untuk membantu PDD jika tugas di divisinya sudah selesai.

"Aku balik dulu ya sama kak Haifa, udah jam delapan," pamit Nazla.

"Udah selesai bantuin bikin hiasan dindingnya?" tanya Arvin.

"Belum selesai sih, tapi kata anak PDD dilanjutkan besok kayak biasanya," jawab Nazla.

"Haifa mana?"

Kenapa juga perempuan itu nggak pamit langsung ke gue?

"Kak Haifa masih bantu beresin barang-barang."

"Pulangnya berani?"

"Sama kak Farzan juga kok. Kak Farzan udah nunggu sama kak Haifa di sana," jelas Nazla.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang