Prolog

280K 12.5K 428
                                    

Maksudnya bukan menyebutkan nama dia dalam setiap doa, melainkan yang terbaik dan tentu Allah tahu siapa yang terbaik itu tanpa kita sebut namanya.

Meminta maksudnya memberi tahu, mengadu, bahwa sedang jatuh cinta.

👇👇👇

____

Di depanmu mungkin aku malu untuk menatapmu, tetapi di hadapan Allah aku terang-terangan memintamu untuk menjadi imamku.

***

Liburan semester tiga sudah berlalu, hanya tinggal kenangan yang sudah diabadikan dalam bentuk foto. Banyak yang masih dalam suasana liburan dan lebih memilih untuk mengambil jatah di hari pertama masuk kuliah, nyatanya dua bulan belum cukup untuk kabur dari rutinitas kuliah.

Haifa memasukkan buku-bukunya begitu dosen keluar dari kelas, bersiap untuk segera kembali ke kosnya karena hari ini hanya satu mata kuliah.

"Fa, lo langsung pulang?" tanya Shinta, satu-satunya teman dekat di angkatannya.

Hanya mempunyai satu teman terdekat, bukan berarti ia tidak berteman dengan yang lain. Haifa mengenal semua teman-teman satu angkatannya, hanya saja sosoknya yang pendiam membuat tidak banyak orang nyaman jika berteman dekat dengannya—berlaku juga untuknya karena tidak cocok ketika harus terhanyut dalam obrolan.

Tetapi itu hanya penilaian orang lain, karena menurut Shinta, Haifa orang yang menyenangkan untuk diajak berteman. Jika sudah mengenal dekat, maka kebiasan-kebiasan yang belum pernah diperlihatkan Haifa kepada orang lain akan ditunjukkan secara cuma-cuma.

Haifa mengangguk, "Iya, aku belum sempet bersih-bersih kos, berdebu banget."

Haifa baru sampai di Jakarta kemarin malam setelah menghabiskan dua bulannya di Semarang, karena kelelahan ia lebih memilih langsung bergelung dengan bantal gulingnya daripada membersihkan kosnya yang tiba-tiba terasa berdebu meskipun tidak ada penghuninya.

Menjadi anak rantau memang mempunyai sisi menyenangkan dan tidak menyenangkan. Tetapi bagi Haifa, ia lebih suka tinggal dengan orangtuanya di Semarang daripada hidup sendiri di ibu kota.

Sebenarnya, Haifa juga mendaftar di beberapa perguruan tinggi negeri yang lebih dekat dengan kotanya. Tetapi, apalah daya jika ia justru lolos di salah universitas Jakarta ini yang pada awalnya hanya iseng-iseng semata.

"Lagipula lo 'kan emang gak ikut kegiatan apapun," cibir Shinta.

"Aku ikut kajian kalau-kalau kamu lupa," jawab Haifa santai.

"Organisasi maksud gue," ralat Shinta.

Haifa memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas. "Hem, nggak tertarik, Shinta."

Shinta mengibas-ngibaskan tangannya. "Ya ya terserah lo deh yang berjiwa kupu-kupu," pasrahnya.

"Yaudah aku balik duluan ya," pamit Haifa sembari berdiri dari duduknya.

"Iya, hati-hati."

"Assalamu'alaikum," salam Haifa sebelum berlalu.

"Wa'alaikumussalam."

Disaat teman-temannya berlomba-lomba memperbanyak kegiatan kampus, Haifa lebih memilih fokus dengan akademiknya. Ia memang pandai dalam setiap mata kuliahnya, tetapi hanya sebatas itu, bukan tergolong dari kalangan yang 'pinter banget'.

Sebenarnya Hanifa ingin mengikuti organisasi seperti Shinta yang menjadi anak BEM di fakultas. Tetapi melihat pergaulan yang sebelumnya ia amati ketika masih menjadi maba alias mahasiswa baru, membuatnya enggan untuk melanjutkan keinginannya.

Terbiasa dengan lingkungan pondok sedari duduk di bangku SMP, membuat Haifa sedikit asing dengan lingkungannya sekarang yang menurutnya terlalu bebas. Tetapi ia tidak bisa mengeluh karena ini pilihannya yang harus diperjuangkannya hingga akhir.

"Assalamu'alaikum Bu Tia." Haifa tersenyum saat menyapa dosenn yang tidak sengaja berpapasan dengannya—meskipun hanya terlihat dari matanya yang menyipit.

"Wa'alaikumussalam Haifa."

Setelahnya Haifa melanjutkan kembali langkahnya yang sempat tertunda. Ia cukup berjalan sekitar sepuluh menit dari kampus ke kosnya, sehingga tidak perlu repot-repot harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat atau berdesak-desakan menaiki angkot.

Haifa berhenti saat dari arah berlawanan ada sekitar tiga laki-laki yang berjalan berdampingan hendak masuk gedung. Ia lebih memilih menyingkir, membiarkan mereka masuk terlebih dahulu.

Meskipun pintu masuk gedung masih cukup jika Haifa keluar secara bersamaan, tetapi ia tidak ingin mengambil resiko terlalu berdekatan apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenisnya.

Bagi sebagian orang, mungkin apa yang dilakukan oleh Haifa terlalu berlebihan dan cukup merepotkan. Tetapi ia tidak sependapat, karena Haifa merasa nyaman dan sudah menjadi kebiasannya.

"Arah jam dua ada si kembar."

Haifa yang tidak sengaja menangkap pembicaraan beberapa perempuan yang sedang duduk di kursi melingkar ketika melewati taman fakultas, secara otomatis berhenti sejenak dan mengedarkan pandangannya mengikuti arah yang dimaksud perempuan itu.

Deg

Sepertinya ada yang salah dengan jantung Haifa karena selalu berdebar setiap kali melihat sosok tersebut.

"Yang Arvan mana yang Arvin mana deh."

Haifa masih mendengarkan pembicaraan beberapa perempuan yang tidak jauh dari posisinya berdiri saat ini.

"Nggak tahu, mukanya sama aja," jawab salah satu temannya.

"Kemarin gue bisa bedain, tapi kalau udah ganti baju lagi gak tahu deh," timpal yang lain.

Berbeda dengan perempuan-perempuan itu yang tidak bisa membedakan antara Arvan dan Arvin. Haifa bisa mengenali identitas keduanya dalam sekali lihat meskipun ia tidak mengenal keduanya secara langsung.

Laki-laki yang sedang fokus dengan laptop di hadapannya dan memakai kemeja merah adalah Arvan. Dan dia yang memakai kemeja hitam—yang sosoknya selalu hadir untuk disematkan dalam doanya—sedang asik dengan ponsel di tangannya. Keduanya juga sama-sama duduk di kursi melingkar yang disediakan di taman fakultasnya untuk belajar atau sekedar ngobrol seru.

Haifa menunduk saat melewati meja Arvin, jantungnya kembali berdebar, kali ini lebih kencang karena berdekatan dengan laki-laki itu—meskipun dekat menurut pengertian Haifa berbeda dengan dekat menurut orang lain. Karena pada kenyataanya, ia hanya lewat dari belakang Arvin dengan jarak yang tidak kurang dari dua meter.

"Gue ke kelas dulu ya, udah lewat lima menit." Samar-samar Haifa mendengar suara Arvin.

Tidak lama setelahnya, Haifa menahan napas karena kedua matanya bertatapan secara langsung dengan mata Arvin. Dan ini pertama kalinya, dari semenjak ia mengetahui laki-laki itu di hari pertama OSPEK. Apa kali ini sosoknya mulai terlihat oleh Arvin?

"Haahh." Haifa menghembuskan napasnya pelan yang sedari tadi ia tahan.

Kenyatannya Arvin berlalu begitu saja setelah bertatapan dengannya tidak lebih dari tiga detik. Menyadari jika ia seolah tidak menarik di mata Arvin, tidak membuatnya berkecil hati.

Justru rasa kagum itu semakin besar, karena apa yang didengar dari teman-temannya selama ini terbukti kebenarannya, kalau Arvin bukan seperti laki-laki lain yang suka tebar pesona dan mengumbar janji pada perempuan.

Jadi, salahkah Haifa mendambakan sosok Arvin untuk berjuang bersamanya di jalan yang digariskan Allah sampai menuju Surga?


-HAIFA-

Malang, 08 April 2018


UNTUK MEMBACA NILAI SPIRITUAL YANG LEBIH TAMPAK DARI JALAN CERITA HAIFA, BISA DITEMUKAN MELALUI VERSI NOVELNYA.

JIKA MENEMUKAN HAL YANG MENGGANJAL ATAU TIDAK SESUAI DENGAN AS-SUNNAH PADA BAGIAN AWAL-AWAL CHAPTER BOLEH DITUNJUKKAN YA.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang