"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat 49:12)

Haifa membaca Al-Qur'an secara tartil di kamar kostnya selesai shalat maghrib. Tidak peduli seberapa banyak tugas kuliahnya, atau serumit apapun masalah dunianya. Ia berusaha istiqomah untuk tidak meninggalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga, sama sekali tidak membuat Haifa lalai. Justru ia ingin membuktikan, bahwa apa yang selama ini diajarkan oleh orangtuanya tertanam baik dalam kehidupan Haifa.

Maha suci Allah atas kebesaran nikmat-Nya.

  يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ  

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat 49:13)

Setelah selesai membaca Al-Qur'an yang dilanjutkan dengan shalat isya, kini Haifa sudah melemparkan dirinya ke kasur dengan nyaman. Sebenarnya, di jam segini ia biasa menghabiskan waktunya dengan mengerjakan tugas, mengulang kembali mata kuliah hari ini, atau sekedar mempelajari mata kuliah keesokan harinya, tetapi untuk saat ini, sepertinya kasur tampak lebih nyaman dari ketiga pilihan lainnya.

Drrtt Drrtt

Haifa menegakkan tubuhnya, mengambil ponsel di meja yang tidak jauh dari kasur.

"Assalamu'alaikum, Bu." Haifa mengangkat panggilan di ponselnya dan mengucapkan salam pembuka.

"Wa'alaikumussalam, Nduk," jawab Rumaisa, ibu Haifa di sebarang sana. "Gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik, Ibu sama ayah sendiri gimana? Ayah masih sering sakit punggung nggak?" tanya Haifa beruntun.

"Nggak apa-apa, udah mendingan. Kamu kalau lagi longgar, langung telepon ibu atau ayah, jangan nunggu ditelepon dulu," keluh Rumaisa.

"Hehe iya Bu maaf. Takutnya Ibu banyak kerjaan," kilah Haifa.

"Kerjaan apaan? Orang ibu kerjaannya cuma jagain ruangan ayahmu kalau di kantor," ucap Rumaisa.

Haifa terkekeh mendengar ucapan ibunya itu. Ayahnya merupakan seorang pemilik perkebunan teh di beberapa daerah di Semarang. Selain itu, ayahnya juga memiliki pabrik sendiri, tempat mengembangkan teh menjadi berbagai bahan makanan, seperti teh herbal.

Sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang selalu mengikuti kemanapun ayahnya pergi. Yah, meskipun tidak jarang ketika di pabrik, ayahnya justru meninggalkan ibunya sendiri di ruangannya untuk rapat bersama para pegawai.

"Kamu masih betah 'kan di sana?" Sekilas Haifa dapat mendengar suara ayahnya yang meminta untuk diloudspeaker.

"Ibu pertanyaannya kayak Haifa masih mahasiswa baru aja deh," jawab Haifa.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSWhere stories live. Discover now