"Sampai sini aja, ini udah rame kok," cegah Haifa.

Arvin tidak rela jika harus kembali sebelum memastikan Haifa sampai di kostnya dengan selamat. Tetapi karena takut kehadirannya justru membuat perempuan itu tidak nyaman, dengan enggan ia mengikuti kemauan Haifa.

"Beneran? Tapi gelap loh," ucap Arvin.

Haifa mengangguk, "Iya, sampai sini aja. Terima kasih, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Em, Haifa!" cegah Arvin cepat. Haifa yang sudah berjalan beberapa langkah, membalikkan tubuhnya menatap Arvin.

"Boleh minta kontak kamu nggak?" tanya Arvin ragu. "Emm buat.. biar lebih mudah buat diskusi." Ia menyerahkan ponselnya pada Haifa, meminta perempuan itu mengisi sendiri nomornya.

Meskipun Arvin menggunakan dalih kerjasama, Haifa tidak bisa menutupi perasaannya yang senang luar biasa. Ia tidak tahu harus bersyukur atau memohon ampunan pada Allah karena hari ini, ia merasakan perasaannya yang semakin dalam untuk laki-laki itu.

Seharusnya Haifa tidak boleh merasakan demikian, karena bisa jadi Allah menakdirkan laki-laki lain untuknya dan mungkin juga, perempuan yang lebih baik untuk Arvin? Ia hanya bisa berserah diri untuk kisah cinta dalam diamnya.

"Haifa," ucap Arvin. Ia menatap kikuk pada mata Haifa yang terus menatapnya sejak tadi.

"Ya?" Haifa tersentak dan gelagapan karena baru menyadari tingkahnya itu.

"Kalau kamu keberatan, nggak perlu." Seketika Arvin kembali merasa sungkan, ia menarik tangannya yang menyodorkan ponsel miliknya.

"Oh, bukan.. bukan. Boleh kok," timpal Haifa. Kemudian mengambil ponsel Arvin yang disodorkan kembali oleh laki-laki itu.

Setelah Haifa memberikan ponselnya kempali pada Arvin, peremuan itu berlalu dari hadapannya. Arvin tidak langsung pergi untuk kembali ke masjid, ia justru terus menatap punggung perempuan itu yang semakin mengecil tertelan keramaian jalanan sembari sesekali membuang pandangan ke arah lain. Baru setelah Haifa berbelok menuju gang, Arvin meninggalkan tempatnya itu.

"Hahh.." Arvin menghela napas pelan.

Jika ditanya tipe perempuan seperti apa yang Arvin inginkan, jawabannya adalah tidak ada. Ia tidak pernah menargetkan istrinya nanti harus cantik, ia hanya menginginkan seseorang yang baik agamanya, yang bisa madrasah terbaik untuk anak-anaknya. Dengan begitu, istrinya akan terlihat cantik dengan sendirinya karena akhlak dan imannya.

Tetapi setelah melihat Haifa, entah kenapa Arvin menjadikan perempuan itu sebagai patokan. Ia yang biasanya tidak terlalu memperhatikan perempuan di sekelilingnya, tiba-tiba membandingkan mereka dengan Haifa.

Astagfirullah.

Arvin menyadari jika kelakuannya tersebut sangatlah jauh dari kata baik, membandingkan sifat bahkan akhlak dan keimanan seseorang. Tetapi pikiran dan kemauannya seolah tidak bisa sejalan dengan selalu memberikan Haifa nilai plus dari hasil membandingkannya tersebut.

Bagaimana rupa Haifa yang tidak Arvin ketahui, justru membuatnya semakin tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.

Yah, ini cuma karena penasaran.

***

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

SEQUEL HAIFA ON PROCESSWhere stories live. Discover now