43. Penyesalan

2.1K 76 0
                                    

Rania terkejut ketika melihat kelasnya yang sudah kacau. Banyak bola-bola yang terbuat dari kertas berserakan di lantai. Padahal ini masih pagi, tetapi mengapa sudah kacau begini. Rania menatap seisi kelas, mencari biang kerok dari kekacauan ini.

"Apa lo?!, dasar perusak kentenangan kelas!" Teriak Elsa membuat Rania menganga di tempatnya. Ternyata temen gue sendiri, biang keroknya. Batin Rania.

"Lo pikir nih kelas punya lo doang?, hah?." Ujar Adit membuat Elsa semakin membara di tempatnya. "Hooh ini kelas gue. Kenapa?, mau apa lo kalau ini kelas gue. Lo sama sekali bukan anggota kelas ini. Sana lo!" Ucap Elsa melirik pintu. "Awas Ran, si pengacau kelas mau lewat." ucap Elsa setelah melihat Rania di ambang pintu.
   Rania memutar kedua bola matanya lalu mengela nafasnya lelah. Dia segera menghampiri Elsa. "Sa, udah dong. Emang gak cape apa berantem muluk sama Adit?" Ucap Rania dengan wajah memohon. Setidaknya sebelum Elsa mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas pada Adit.

"Gue gak peduli!. Sekolahnya juga sebulan sekali, pas sekolah malah bikin ulah. Sadar gak lo?!" Seru Elsa jengkel pada Adit. Adit tertawa renyah, "woyyy! Jangan kekanakan lo. Emang lo itu siapa disini, sembarangan ngatain orang kayak gitu. Lo tuh cuma cewek mulut besar tau gak!." Timpal Adit.

Rania manarik lengan Elsa. "Sa, udah!. Jangan berantem, ntar ma'am Lany masuk. Emang lo mau di marahin sama ma'am Lany?." Tanya Rania berharap Elsa akan berhenti sekarang. Tapi malah sebaliknya. Elsa tambah murka. "Gue gak peduli!, gue udah muak sama nih satu!. Biarin gue di marahin yang penting gue gak bakal lihat muka dia!" Seru Elsa lantang sambil menunjuk Adit.

Adit tertawa, "hha silakan!. Lo pikir lo bisa keluarin gue dari sini?. Gak bakal pernah!."

Elsa melototi Rania. "Nah tuh kan. Makhluk kayak gitu tuh, perlu di musnahin."

Rania memutar kedua matanya. "Sa!, gue gak tau kenapa lo marah-marah sama dia sekarang ini. Tapi, ada yang pengen gue omongin ke lo dan gue yakin lo bakal minta maaf sama dia." Ucap Rania dengan volume kecil sehingga hanya Elsa yang dapat mendengarnya. "Ya tapi kan Ran--"

Rania memegang kedua bahu Elsa. "Lo sekertaris kelas. Tegas, tapi gak amburadul kayak gini Sa. Jaga image." Ucap Rania mengingatkan. Elsa menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Fine!" Elsa segera duduk di bangkunya.

Adit menatap Elsa dengan tatapan malas. Kemudian dia juga segera duduk di tempatnya.

"Ini kenapa kayak habis perang?." ma'am Lany ternganga di ambang pintu sambil melihat ke lantai. "Ini, coba, bersihkan dulu." Kali ini ma'am Lany menatap para siswa.

Kinar segera berdiri dari duduknya. "Biar saya yang bersihkan." Ucapnya sambil mengambil sapu di pojok. Elsa menatap Kinar tidak enak. "Gue aja Nar, gue yang kotorin juga." Ucap Elsa jujur. Walau sebenarnya bukan hanya dia tetapi juga dengan Adit.

Kinar tersenyum tipis. "Gak papa, ini emang hari bertugas gue kok." Ucap Kinar lalu kembali menyapu. Elsa akhirnya mengangguk paham. Kinar akhir-akhir terlihat sudah tidak menghindar dari Elsa. Walau memang mereka masih jarang saling berinteraksi.

"Oke semuanya kita melanjutkan materi kita. Please open your book on page 176." Suara ma'am Lany mengintruksi semua siswa untuk memulai pelajaran.

***

Lima menit lagi istirahat. Rania baru sadar kalau Patrick tidak sekolah hari ini. Patrick kenapa gak sekolah ya?. Batin Rania.

Kemudian Rania memperhatikan sekeliling kelas. Adit sudah tidak ada di dalam, maka Rania pun menengok pada Elsa yang sedang mengatur jadwal kelompok belajar.

"Sa, kemaren gue gak sengaja ketemu Adit di RS." Ucap Rania kalem.

"Terus?" Tanya Elsa terlihat tidak tertarik dengan topik yang di bicarakan oleh Rania.

Rania menngigit bibir bawahnya, terua berpikir bagaimana caranya untuk menjelaskan. Karena mungkin saja Elsa akan bertanya mengapa Rania dan Adit bertemu di ruangan dokter kanker dan tumor.  Rania mengetukkan jari-jarinya di atas meja sambil celingak-celinguk di tempatnya. Elsa yang menunggu kelanjutan cerita dari Rania tentu saja merasa ada yang mengganjal. Elsa menengok pada Rania. "Terus?, itu doa--"

"Gue ketemu sama Adit di ruangan dokter Rey. Dokter penyakit kanker dan tumor. Waktu itu Adit datang ke ruangan dokter Rey tapi dokter Rey lagi gak ada. Pas Adit pergi, dokter Rey datang. Terus gue nanya apa urusan Adit sama dokter Rey." Cerocos Rania membuat Elsa menaikkan alisnya. "Te,.rus?" Tanya Elsa.

Rania menghela nafasnya. "Dokter Rey bilang, kalau papa Adit itu pasien dia. Makanya Adit selalu konsultasi sama dia buat operasi nanti. Papa Adit sakit tumor dan harus di operasi, tapi operasi di tunda karena yang belum cukup." Jelas Rania membuat Elsa menggeleng tak percaya. "Jangan bilang,--"

Rania mengangguk. "Selama ini Adit absen karena harus kerja buat dana operasi papa dia. Dokter Rey juga bilang kalau mama Adit udah meninggal waktu Adit masih SD. makanya tadi pas lo berantem sama Adit, gue berusaha nahan lo."

Raut wajah Elsa langsung berubah. Kepalanya tertunduk. Seketika dia merasa sangat bersalah atas kelakuannya pada Adit selama ini. Adit yang menyebalkan dan tampak santai akan segala sesuatu, ternyata menyimpan beban dipunggungya. Bodohnya Elsa tidak pernah menyadari akan hal itu.

Rania tersenyum simpul, dia tahu apa yang Elsa pikirkan sekarang. "Sa, gue punya ide." Ujar Rania membuat Elsa mengangkat kepalanya dan menaikan alis kananya.

"Gimana kalau kita ngumpulin dana buat operasi papa Adit. Kita bisa minta bantuan dari teman-teman kelas, juga mungkin dari guru-guru." Ucap Rania membuat mata Elsa berbinar. "Juga jual makanan di kantin?, siapa tau bakal berhasil. Gue, nyesel banget Ran, sama semua tutur kata gue ke Adit selama ini." Sambung Elsa membuat Rania mengangguk cepat. "Ide bagus Sa. Gak papa Sa, menurut gue bikin kesalahan itu wajar sebagai manusia biasa. Lagian kesalahan terjadi bukan untuk di sesali tapi untuk di perbaiki." Ucap Rania sambil menaikan alis kirinya. Meminta persetujuan dari Elsa. "Right!" Elsa mengangguk setuju.

***

Rabu, 21 06 17

Just Not Mine (Selesai)Where stories live. Discover now