part 37

133 8 2
                                    

Aluna berusaha memejamkan mata. Bukan, karena matanya saat ini sudah terpejam. Namun ia sulit menembus alam bawah sadarnya.

Padahal tubuhnya sudah terlampau lelah hari ini. Entah mengapa tubuhnya tak ingin berkompromi untuk membuatnya tertidur.

Sepanjang Aluna memejamkan mata, jantungnya berdebar keras dengan pipi bersemu. Memikirkan kini Mahesa berada di sisinya, berada dalam jangkauannya, tersentuh olehnya.

Ia menggeliat dari pelukan pria di sebelahnya. Mengubah posisi agar nyaman untuk tubuh mereka. Semakin mendekat ke arah pria itu.

Kulit bertemu kulit. Hangat bertemu hangat. Aroma percintaan mereka menguar di sekitar. Saling mendekap tanpa adanya batasan di antara mereka.

"Kamu belum tidur?"

"Hm, aku nggak bisa tidur." Aluna mendongak untuk menatap wajah Mahesa. Pria itu mendorong kepala Aluna semakin melekat ke dadanya.

"Saya belum buat kamu capek berarti?" goda Mahesa. Membuat Aluna memberengut sebal. Mahesa tertawa pelan.

"Kalau begitu coba kamu tebak."

Aluna tertawa kecil. "Kenapa tiba-tiba jadi tebak-tebakan?"

"Biar kamu ngantuk." Mahesa menyentuh hidung wanita itu dengan telunjuknya. "Tebak, kira-kira apa jenis kelamin anak kita?" tanya Mahesa, Aluna reflek menahan bibirnya yang ingin sekali tertarik lebar ke samping.

"Hmmm, nggak tahu. Memangnya kamu maunya anak kita laki-laki atau perempuan?" tanya Aluna ingin tahu.

"Sebenarnya nggak masalah laki atau perempuan. Tapi kalau boleh milih, saya pengin anak ini perempuan."

"Alesannya?"

"Nggak ada alasan khusus. Saya suka anak perempuan."

"Tapi kalau anak ini laki-laki?"

"Saya tetap mencintai dia dengan setara," jawab Mahesa kemudian.

Aluna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum geli. "Bener-bener sudah cocok jadi Papa yang baik."

"I hope so too, tapi saya tetap minta bantuanmu juga ya, Lun. Kamu yang kelihatan paling expert tentang membesarkan anak."

Aluna tersenyum jumawa. "Terima kasih kepada Ibu atas bimbingannya," kekeh Aluna seraya menyebut Ibu panti, "aku mulai bantu ngerawat adik-adikku di panti, waktu aku masih di umur sekitar dua belas tahun."

"Really? Sekecil itu kamu sudah mengurus bocah-bocah nyebelin itu?"

Aluna mendelik tak terima. "Mereka bukan nyebelin tau! Mereka anak-anak yang baik."

Mahesa tersenyum, mengelus rambut Aluna perlahan. "Tapi itu memang pekerjaan yang sulit. Saya nggak jago untuk urusan anak, tapi saya bakal bantu sebisa saya." Ia menatap wanitanya penuh kekaguman. "You did well, my Moon."

Aluna malu. Wajahnya yang bersemu ia sembunyikan pada dada telanjang Mahesa. Mendusal disana.

"Tapi kamu kan sudah capek kerja, Hes. Beneran kamu ngajuin diri buat ikut ngerawat anak?" tanya Aluna.

Mahesa berdecak. "Anak itu tugasnya kedua orang tua. Meskipun saya kerja, tapi saya tetap berkewajiban sebagai seorang ayah. Cari nafkah itu kewajiban saya sebagai kepala rumah tangga."

Bibir Aluna membulat takjub dengan narasi yang dikeluarkan Mahesa. Ia kira pria ini tipikan pria yang dididik secara patriakis dalam keluarganya, namun ternyata dugaannya salah.

"Lagipula saya kerja cuma nine to five, kebanyakan ibu di luaran sana merawat anaknya 24 jam nonstop." Pria itu menghela napas berat. "Kamu nggak perlu handle pekerjaan rumah, Lun. Karena sudah ada pembantu yang urus," lanjut Mahesa semakin membuatnya terpana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang