part 10

90 15 0
                                    

Guratan bolpoin itu memenuhi kertas putih yang ditulis Aluna. Ia mengalihkan fokusnya, menatapi satu persatu rekan kerjanya yang telah beranjak dari tempat mereka untuk mencari makan malam sejenak. Ia sedang mengisi beberapa laporan yang belum rampung, untuk diberikannya kepada sang SS, Sudah merupakan kegiatan rutin sebelum closing.

Ia menatap nanar kertas di hadapannya. Sebulir air menetesi, membasahi secarik kertas putih itu dengan air matanya.

Mendadak mood nya terjun ke jurang yang paling dasar, tak tahu mengapa. Padahal tidak ada pemicu berarti yang membuatnya uring-uringan sepanjang hari ini.

Aluna menangis terisak, dan hal itu diketahui oleh Dhimas pertama kali.

"Hehhh, Dek! ngapain lo nangis? Gue ada salah apa sama lo?" tanya Dhimas terlihat kebingungan sekaligus panik.

Aluna masih terisak, tak tahu mengapa ia menjadi mendadak mellow seperti ini.

Dafa berada di pantry sudut ruangan berdecak menggelengkan kepalanya heran. "Anak orang lo apain lagi sih, Dhim." Karena ia mengira Dhimas pasti berulah lagiㅡmengganggu Aluna.

"Apaan, orang gue aja baru masuk sini, dia udah nangis kayak lagi syuting drama korea," protes Dhimas membela dirinya sendiri, membuat tangisan Aluna semakin menjadi-jadi.

"Duh.. beneran salah gue ya?" tanya Dhimas lagi, menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk. Ia beringsut mendekati Aluna dan mengusap punggungnya yang masih bergetar.

Wanita itu menggeleng lemah, ia menarik napas kuat-kuat agar isakannya sedikit mereda. Meskipun guncangan tubuh akibat tangisannya itu menolak keras.

"Salah Dafa?" ucap Dhimas menujuk Dafa yang berjalan mendekati mereka dengan segelas kopi di tangan. Kemudian tak lupa Dhimas mengabsen seluruh penjuru karyawan satu per satu, layaknya anak TK menginterogasi teman-temannya karena membuat seorang anak perempuan menangis.

Aluna menggeleng lagi.

"Salah bapak gue? salah ibu gue???" lanjut Dhimas. Membuat Aluna menatapnya sebal. Ingin mengomel namun diurungkannya.

"Bilang dong, apa yang bikin lo sedih. Jadi kita bisa bantu." Dafa menyeret kursi, duduk di hadapannya. Dhimas menganggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Dafa.

Aluna menarik napas, mengutarakan apa yang menjadi pemicu kecil perusak moodnya saat ini.

"T-tadi, Shindy ga ngajakin gue makan bareng. P-padahal kan gue juga laper," lanjutnya terbata-bata karena tersendat oleh tangisnya.

Dafa dan Dhimas kontan melongo setelah mendengar penuturan Aluna. Begitu doang?

Dhimas berdeham. "Gue kira lo ada masalah berat banget di luar kerjaan. Eh ternyata cuma gara-gara Shindy ga ngajakin lo makan." Sedangkan Dafa hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung ingin memberi respon seperti apa.

Aluna menunduk dalam. "Lo nggak tau sih..., biasanya dia selalu ngajakin gue tiap mau nyari makan. Tapi sekarang gue diajak aja nggak." Wanita itu mendongakkan wajahnya, menatap kedua pemuda itu masih dengan wajah sembabnya. "Kayaknya dia benci sama gue deh."

"Lah, padahal tadi Shindy baek-baek sama lo, kok. Kapan marahannya deh?" tanya Dhimas dengan tampang seolah berusaha mengingat-ingat sesuatu.

Dafa menggelengkan kepalanya heran, ia menatap Aluna yang masih saja heboh menarik ingusnya. Demi Tuhan, ia sampai sekarang masih bingung dengan para wanita dan mood mereka yang seringkali berubah secara ekstrim.

"Lo lagi datang bulan? PMS?" tanya Dafa menduga-duga. Karena kebetulan ia mempunyai kekasih yang mood nya seringkali labil ketika datang bulan. Dan dirinya merupakan bukti nyata pelampiasan mood labil kekasihnya. Bahkan ia pernah menjadi samsak tinju wanita itu ketika cemburu buta disaat siklus haidnya datang.

RumpangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz