part 1

243 31 0
                                    

Tut… tut…

“Halo, Kir?”

Suara berat seorang pria di telepon, menggema di telinga kanannya. Wanita ituㅡKiran Dineschara, menghela napas panjang. Air mata membanjiri pelupuk matanya yang kian kehilangan sinar.

Susah payah Kiran mencoba menerima kenyataan pahit yang baru saja ia ketahui, rasanya sangat menyakitkan. Sampai-sampai tubuhnya hampir saja ambruk ketika kaki kanannya menapak anak tangga terakhir di tangga darurat rumah sakit. Napasnya bergemuruh kelelahan, setelah berhasil memanjat ratusan anak tangga yang telah ia lewati.

Beginikah akhir dirinya?

Kiran merasa sangat tak berdaya.
Dibukanya sebuah pintu rooftop. Reflek ia menutup mata ketika hembusan angin kuat menyapu tubuh. Ponsel pintar masih setia menempel di telinga kanannya. Kiran mendengar sahutan itu lagi, suara suaminya.

“Kiran? Halo?”

“Halo, Hes.” Wanita itu menjawab pelan, suaranya serak, tak lupa disertai dengan gemuruh angin sebagai latar suara.

“Kamu dimana?”

Kiran menghela napas kuat. “Kayaknya aku nggak bisa melanjutkannya lagi, Hes.”

“Apa maksudmu?”

“Aku malu sama kamu.” Air matanya mulai meluruh bagai permata berkilauan, Kiran terisak. “Aku nggak berguna, bahkan aku nggak berkontribusi apapun dalam pernikahan ini.” Kiran menyeret langkah, berjalan semakin maju mendekati dinding pembatas yang hanya sebatas perutnya saja.

“I swear to God, Kiran. What happened?!” suara suaminya meninggi di seberang telepon. “Aku bukan cenayang, Kir. So, please tell me what happened.”

“Aku… nggak bisa kasih keturunan yang kamu mau, Hes.” Ia menarik napas kasar sedikit tercekat. “Aku mandul!” jeritnya sekali lagi.

Satu, dua, sepersekian detik mereka terdiam dalam panggilan tersambung. Kiran mengusap kasar jejak air matanya di pipi, lalu tersenyum masam ketika ia tak lagi mendengar suara suaminya pada panggilan yang masih tersambung. Pasti kenyataan pahit ini sangat menampar Mahesa telak.

Bagaimana tidak? Pasti Mahesa kini menyadari bahwa pria itu telah membuang banyak uang dan waktu berharganya sia-sia, hanya untuk menikahi perempuan mandul seperti nya.

Daripada hidup dengan nasibnya yang menyedihkan, lebih baik Kiran mati saja kan?

Maka berdirilah Kiran saat ini, diatas tembok pembatas rooftop dengan bebasnya. Ponsel dalam genggaman ia cengkeram kuat-kuat di sisi kanan tubuhnya. Samar terdengar suara Mahesa menyentak-nyentak dalam telepon.

Aku sama sekali nggak peduli tentang perjanjian itu. Please, Kir! Jangan aneh-aneh!”

Halo, Kiran?! Damn it!”

Suara itu tak Kiran hiraukan lagi.

Kiran menatap hamparan gedung-gedung bertingkat mewabah luas. Lalu menunduk ke bawah, ke arah jalanan sibuk yang sangat jauh di bawahnya.

Hanya inilah jalan satu-satunya. Ia siap meninggalkan semua, bahkan rumah peninggalan nenek yang mati-matian ia perjuangkan sampai sekarang. Kiran menyerah.

Pandangannya mulai mengabur seakan membentuk mozaik-mozaik yang terpecah. Pantas saja, Kiran sendiri lupa bahwa ia sangat takut pada ketinggian. Thanks for what happened today and made her brave enough facing the height.
Perlahan kesadarannya kian terenggut, pandangannya semakin menghitam tak bisa ia cegah.

Kiran tahu, bahwa cepat atau lambat dirinya akan pingsan. Alih-alih menarik tubuhnya ke belakang dan menjatuhkan diri ke beton bangunan rumah sakit, dirinya sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia berharap kecil, pingsan dapat mengurangi rasa sakit ketika tubuhnya menubruk aspal keras di bawah sana.

Sebelum Kiran menjatuhkan tubuhnya, samar terdengar suara terakhir yang ia tangkap. Suara derap langkah tergesa dan sebuah teriakan.

Lalu gelap. Ia hanya merasakan kegelapan.

Dan Kiran berharap, ia sudah mati sekarang.


•••


Hari itu, Aluna berangkat bekerja seperti biasa. Bangun pagi-pagi setelah mengingat jadwal masuk yang mengharuskannya hadir pada shift pagi.

Sepanjang itu Aluna terus saja menghela napas panjang, seolah sesuatu membuatnya terus cemas. Firasatnya tak enak, ia menduga-duga kejadian buruk apa yang akan menimpanya hari ini.

Setelah ia menerima panggilan dari panti pagi itu, firasatnya benar. Ibunya dilarikan ke rumah sakit.

Dan fakta mengejutkan lain, Ibunya menderita tumor otak yang diharuskan untuk segera operasi pengangkatan tumor tersebut.

“Biaya operasinya seratus juta rupiah, belum termasuk perawatan setelah operasi.”

Aluna tertawa gamang dengan mata berkaca. Mengingat ketika sang dokter mengucapkan nominal itu di hadapannya, bulu kuduknya meremang seketika. Memikirkan nominal uang yang bahkan ia sendiri tak tahu seperti apa wujudnya.

Ia sangat lelah. Kejadian-kejadian di hari ini seolah menyedot energinya hingga terkuras habis. Aluna seperti ditimpuk oleh banyak kesialan yang datang di hari ini.

Sebelum itu, Aluna berniat menjernihkan pikirannya yang kacau karena ucapan dokter memenuhi benaknya tanpa ampun. Aluna dipaksa berpikir keras, bagaimana caranya ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Haruskah Aluna menjual tubuhnya?

Namun tak menampik kemungkinan uang yang dihasilkan tak akan secepat itu terkumpul. Lagipula, apa yang menarik dari tubuhnya ini, kan?

Sebanyak itu Aluna berpikir tanpa henti. Pikirannya bergumul membuatnya muak. Ia masuk ke dalam tangga darurat, lalu memanjat satu persatu anak tangga di dalamnya, hingga mencapai puncak. Yaitu, rooftop rumah sakit ini.

Tidak, ia tak berniat untuk mengakhiri hidup. Aluna hanya terlalu sumpek dengan hiruk-pikuk yang ada di dalam rumah sakit. Seolah suasananya terus-terusan membuat Aluna bersedih dan pesimis. Alhasil rooftop menjadi tempat tujuannya untuk sekadar menarik napas panjang. Berharap dapat menghirup udara segar disana, meskipun Jakarta adalah salah satu kota dengan polusi terparah.

Ketika kaki kanannya sampai pada anak tangga terakhir, tubuhya otomatis menghadap pada pintu rooftop yang kebetulan terbuka lebar. Kiran menatap keluar, terlihat seorang wanita berdiri di atas tembok pembatas, seperti hendak menjatuhkan tubuhnya. Kedua mata Aluna melebar.

Panik dan reflek, Aluna berlari cepat ke arah wanita yang hendak menjatuhkan tubuhnya itu. Ia berteriak nyaring, berusaha mengalihkan perhatian wanita itu agar mengurungkan niatnya. Namun nihil.

Aluna berhasil melingkarkan kedua tangannya pada perut wanita itu, sekuat tenaga ia mencegah tubuh yang tak ringan itu agar tak jatuh. Hampir saja dirinya ikut terseret, apabila tak ada tembok pembatas untuk menahan setengah tubuhnya.

Menarik tubuh orang dewasa memang tak mudah, apalagi posisi wanita itu telah kehilangan kesadaran. Rasanya dua kali lipat lebih berat.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aluna mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya untuk menarik tubuh itu kembali ke atas, dan ia berhasil. Tubuh keduanya jatuh dan tergeletak di atas lantai beton rooftop, Aluna sontak mengaduh ketika punggungnya bertabrakan keras dengan lantai beton.

Akhirnya. Akhirnya Aluna berhasil menyelamatkannya.

Dibantu dengan beberapa orang ahli medis yang dipanggilnya, wanita itu dibawa turun untuk melakukan pemeriksaan di IGD. Aluna mengikutinya, untuk dimintai keterangan terkait peristiwa itu.

Dan disinilah ia sekarang, berada di salah satu ruangan di IGD. Tepat di ranjang di sampingnya terbaringlah sosok seorang wanita yang baru saja ia selamatkan usai percobaan bunuh diri yang dilakukan wanita itu.

Ia memandangi wajah pucatnya ketika terlelap, cantik sekali. Aluna membatin, entah masalah apa yang dihadapi wanita itu sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya seperti ini.

Hiruk pikuk IGD membuat Aluna tak nyaman berlama-lama disini. Namun tak lama setelah itu, suara serak tertangkap oleh pendengarannya.

“Kamu ngapain nyelametin saya?”

Aluna reflek menoleh, lalu berdiri mendekati ranjang ketika menemukan sosok wanita itu telah tersadar, duduk bersandar pada kepala ranjang. “Akhirnya, kamu sudah sadar.” Ia tersenyum.

"Kamu ngapain nyelametin saya?" ulang wanita itu lagi. Terdapat seberkas keputusasaan yang mendalam pada kedua mata wanita itu. Aluna berangsur mendekat, memeluk wanita itu seraya mengusap-usap punggungnya lembut. Membuat tubuh wanita itu mematung karena terkejut.

Aluna menghela napas panjang. "It's okay not to be okay," ucap Aluna pelan, berempati, "kamu pantas bahagia dan saya harap kamu masih sanggup menunggu bahagia itu datang ke kamu," lanjutnya.

Wanita itu terdiam tak menjawab.
"Jangan menyerah sebelum waktunya ya? Saya nggak tahu apa masalahmu. Tapi, pasti ada jalan keluar dari setiap masalah, please hang on a little bit more."

Tanpa tedeng aling-aling, wanita di pelukan Aluna mulai menangis menjadi-jadi. Seolah kata-kata ajaibnya menyihir jiwanya, membuka pikirannya, dan menguatkannya.

Benar. Masih ada jalan keluar untuk semua ini.

Tanpa sadar tangis Aluna pecah juga. Karena tak menampik bahwa dirinya juga membutuhkan sebuah pelukan saat ini. Mereka menangis bersama, menguatkan satu sama lain.

to be continued.

RumpangWhere stories live. Discover now