part 26

73 15 5
                                    

"Cuih, si Tukang Bolos ngapain disini?"

Mahesa berdecak ketika melihat kehadiran sosok Abirama mengoceh di hadapannya. Mereka kini berada di satu lift yang sama. "Kok lo tahu gue nggak masuk?" Wajahnya melengos ke kanan, jarinya menekan tombol lantai paling bawah, yakni lantai basement. Ia berniat untuk menjernihkan kepalanya sejenak dengan membeli kopi di salah satu kafe dekat kantor.

Rama menggeleng-gelengkan kepalanya miris. "Asisten lo noh! Kemarin kasian banget, kewalahan," cibirnya.

"Kemarin gue sakit."

"Nggak nanya!" ucap Rama dengan nada mencemooh. "Sakit apa? Kurang belaian dari Neng Kiran?" Rama menaikkan sebelah alisnya.

Mahesa berdecak malas. "Jangan mulai."

Pria di sebelah Mahesa terkekeh pelan. "Hari gini masih gamon."

Mahesa hanya terdiam seraya memfokuskan diri pada tampilan angka di bagian atas lift yang berubah-ubah seiringnya mereka turun ke bawah. Memilih untuk tak mengindahkan pertanyaan bodoh yang Rama ajukan.

Hingga dirinya tersadar bahwa perasaan mencekik yang selama ini ia rasakan sepeninggal Kiran, telah memudar. Rasa frustasi karena ditinggalkan Kiran kini samar dirasakannya, bahkan hampir tak terasa. Tergantikan oleh perasaan aneh menyelubungi hatinya. Resah, gelisah, dan senang bercampur aduk di sana.

Benarkah Mahesa berhasil move on?

Dalam hati ia menggeleng. Mahesa telah memberikan label untuk dirinya sendiri, bahwa ia masih dan tetap mencintai Kiran sampai kapanpun itu. Mahesa akan lebih membenci dirinya sendiri bila seseorang berhasil membalikkan perasaannya dengan mudah. Itu artinya perasaannya kepada Kiran tak sesungguh-sungguh itu.

"Mau ngopi? Gue ikut ya." Rama mengekori Mahesa memasuki mobil tanpa persetujuan pria itu. Membuat sang empunya mobil menghela napas lelah melihat sikap sahabatnya. "Lo nginep dimana semalam? Kemarin gue ke rumah lo, tapi satpam bilang lo belum pulang beberapa hari ini." Kedua mata Rama menyipit penuh selidik.

Mahesa menenggak ludahnya. "Gue .... di apartemen Aluna."

Rama melongo karena terkejut. Matanya melebar seakan-akan bola matanya akan keluar dari tempatnya. "Wah, gue ketinggalan apa nih." Pria itu tersenyum-senyum menggoda Mahesa. "Berarti dugaan gue tentang lo yang kurang belaian itu salah?"

Mahesa mengernyit, kebingungan dengan apa yang Rama maksud.

"So, tell me how's it?"

"Apanya?"

"Rasanya." Bibir Rama berkedut menahan senyum.

Masakannya? "Enak," jawab Mahesa cuek, sambil memasang sabuk pengaman.

"Pantesan sehari sakit besoknya langsung seger." Rama tersenyum puas, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ternyata oh ternyata. Sudah gue bilang sebelumnya, lo sama Aluna tuh cocok!"

Mahesa spontan menoleh. "Lo ngomongin apa sih sebenernya?" tanya pria itu sedikit ketus. Pasalnya ia tak paham dengan alur pembicaraan yang dibawa Rama sedari tadi. Pikirannya malah melanglang buana ke tempat lain.

"Lo nggak tidur sama dia?"

Mata Mahesa terbelalak. "Tidur sama Aluna maksud lo? Gila, nggak lah!" Ia membasahi bibir, terbayang oleh kilasan yang terjadi kemarin membuat wajahnya sedikit memanas.

Wanita itu merawatnya dengan penuh perhatian, memasakkan makanan, teratur mengecek suhu badannya, bahkan membersihkan tubuhnya menggunakan lap basah. Dimana ia baru menyadari ada yang berubah dari dirinya, yang biasanya sangat benci ketika orang asing menyentuh tubuhnya.

RumpangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz