part 33

68 5 0
                                    

Mahesa seperti sedang mengikuti ujian yang membuatnya dalam posisi antara hidup dan mati. Entah mengapa ia merasa Aluna sedang menguji ketahanannya disaat bibir merah muda wanita itu sedang mengerucut tepat di hadapannya. Sial, jangan salah fokus!

Ternyata alasan wanita itu marah karena ia menganggap ciuman mereka waktu itu sebuah kesalahan. Kenapa dia harus marah karena hal itu? Harusnya Aluna marah karena Mahesa menciumnya tanpa persetujuannya! Ya, harusnya seperti itu. Kalau begini artinya apa? Mahesa pun tak tahu menahu. Namun jauh di lubuk hati Mahesa yang terdalam, ia memang sudah tergoda untuk mencium Aluna akhir-akhir ini.

Hingga disaat Mahesa berhasil menuai rasa penasarannya, seperti yang Mahesa harapkan, berciuman dengan Aluna sangat menyenangkan. Sampai-sampai Mahesa hampir saja lepas kendali, bahkan hampir meniduri Aluna saat itu juga.

Sialan. Setelah kejadian itu Mahesa tak dapat memikirkan apapun selain kilas balik ciuman mereka yang bolak-balik menghampiri pikirannya tanpa bisa dicegah. Bahkan saat meeting penting pun, Mahesa dibuat tidak fokus.

Ada apa dengannya? Sebegitu frustasi kah dirinya karena sudah beberapa bulan ini tak menjamah bibir wanita?

"So, how it feels?" Aluna bertanya padanya.

"That was amazing." Mahesa berkata jujur. Memang benar, bahkan ia berani melebih-lebihkan ucapannya karena memang rasanya sungguh berbeda. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya dengan wanita-wanita yang pernah diciumnya di masa lampau, bahkan Kiran sekalipun. Ah, Mahesa bahkan lupa bagaimana rasanya ketika mencium Kiran. Benarkah rasanya mendebarkan seperti ini?

"Honestly, i want to kiss you again if you let me." Dalam hati Mahesa setengah mengutuk dirinya sendiri, setengahnya lagi diam-diam mengamini. Mengapa pikiran dan hatinya selalu tak sinkron seperti ini?

"Beneran kamu nggak terbawa suasana waktu itu?" Aluna bertanya lagi.

Ya, suasana memang juga berperan sebagai faktor utama terjadinya peristiwa itu. Kalau saja suasananya tidak mendukung, Mahesa tidak akan senekat itu untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

"Mau saya buktikan lagi?"

Tolong jawab tidak. Pinta Mahesa dalam hati. Meminta Aluna untuk tidak menyambut pancingannya. Karena Mahesa merasa pertahanannya bisa runtuh kapan saja, tergantung jawaban yang akan dilontarkan Aluna setelah ini.

"Go ahead then," jawab Aluna seraya mendongak ke arahnya.

Sial. Sial. Sial.

Mahesa tahu ia tak bisa menahan diri lagi setelah berhasil menghimpit tubuh wanita itu terpojok di pintu. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja, kapan ia bisa langsung kembali menyambar bibir Aluna yang selalu membuatnya kepikiran sepanjang hari. Ini adalah saat yang tepat untuknya.

Pelan tapi pasti, Mahesa menundukkan kepalanya, meraup permukaan bibir wanita itu dengan miliknya. Aluna menyambutnya sambil tersenyum kecil.

Rasanya bak dibawa melayang menuju langit ke tujuh.

Aluna mengalungkan tangannya pada tengkuk Mahesa. Posisi mereka semakin berhimpitan, bahkan tak ada celah sama sekali di antara mereka. Tubuh keduanya saling menempel, menciptakan hawa panas menguar di sekitar.

Begitu memabukkan. Sesuai dengan bayangan Mahesa, mencium Aluna memang begitu menyenangkan. Seolah jantungnya reflek memompa darah lebih cepat dan membuat darahnya berdesir hangat mengaliri tubuhnya. Tubuhnya merasa panas.

Apa yang membuat bibir wanita itu begitu manis? Apakah produk khusus bibir yang dipakainya? Tidak, karena semalaman ini ia hanya melihat Aluna memakai lipbalm tanpa perisa apapun. Jadi, seharusnya itu tak menjadi pengaruh. Oh, ataukah karena permen yang dia makan sebelumnya?

RumpangDär berättelser lever. Upptäck nu