part 25

99 16 7
                                    

Panas dan berat.

Entah perasaan Aluna saja mengapa tubuhnya serasa ditimpa sesuatu yang berat dan panas ketika ia tidur. Apakah dirinya ditindih oleh hantu? Jin? Dan sebangsanya?

Kedua matanya berusaha terbuka pelan, cahaya remang berwarna kuning yang berasal dari lampu lain ruangan ini memenuhi penglihatannya. Di manakah dirinya sekarang?

Ketika kedua matanya terbuka lebar, refleks pandangannya menjelajahi bagian langit-langitnya. Oh, rupanya ia tertidur di ruang tengah. Sepertinya Aluna ketiduran setelah semalaman bermain PlayStation bersama Mahesa.

Sebentar, Mahesa?

Aluna refleks menolehkan wajahnya pada sosok pelaku yang membuat tubuhnya terasa berat dan panas.

Mahesa, pria itu tertidur di sebelahnya, dengan kedua tangan merengkuh perutnya, wajah diserukan pada leher wanita itu sehingga hawa panas menerpa leher Aluna.

Rupanya mereka sama-sama tertidur di sofa-bed ini. Setelah hampir tengah malam mereka bermain. Dan kini mereka ... berpelukan.

Gemuruh dada Aluna tak ingin diam. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Astaga, jangan sampai pertahanannya runtuh seketika, hanya karena Mahesa tak sengaja terlelap di sebelahnya lalu memeluknya.

Namun mengapa kulit pria itu jauh lebih panas dari suhu badan rata-rata manusia biasanya?

Aluna bangkit, mengubah posisinya menjadi terduduk, membuat pelukan pria itu terlepas sendiri. Sedikit mencondongkan tubuhnya pada Mahesa yang terlelap meringkuk dengan peluh membasahi dahi.

"Pak?" panggil Aluna pelan. Panas menembus telapak tangan wanita itu ketika menyentuh dahi Mahesa. Pria itu demam. Pasti karena kehujanan kemarin malam.

Buru-buru Aluna bangkit. Mengambil kotak P3K di kabinet ruang tengah, di sanalah ia menyimpan termometer miliknya. Mengangkat lengan pria itu untuk membuka lipatan ketiaknya, lalu menyelipkan termometer di sana.

38.9°

"Pak?" panggil Aluna pelan sekali lagi. Tangan Aluna meraba pelan pipinya yang panas. Akhirnya sang empunya pipi siuman, pria itu merintih pelan seraya membuka setengah kelopak matanya.

"Pusing," rintih Mahesa, tangannya memijat area pelipis karena merasakan pening menyergap disana.

"Iya-iya, saya ambilkan obat, ya? Tapi Pak Mahesa harus sarapan dulu."

"Nggak mau, mual."

Aluna menghela napasnya. "Nanti obatnya nggak mempan," ujarnya.

Mahesa menggeleng pelan dengan mata terpejam. Entah mengapa Aluna menangkap momen ini adalah hal yang sedikit lucu, karena pria itu sekarang seperti anak kecil yang merengek tak berdaya.

"Yaudah, nanti agak siangan saja." Aluna menatap jam dinding, pukul tujuh pagi. Harusnya Mahesa bersiap untuk berangkat bekerja. "Izin nggak kerja dulu, ya? Panas banget lho ini."

Mahesa membuka matanya secara spontan, tatapannya menyiratkan kepanikan. "Saya masuk agak siangan saja," putusnya.

"Nggak, Pak. Bisa-bisa nanti Bapak pingsan gimana? Lagian salah siapa kemarin hujan-hujanan," omel Aluna pada Mahesa habis-habisan. Aluna sudah seperti ibu-ibu rempong yang mengomeli anaknya yang super bandel. "Izin ya? Kan Bapak bosnya." Aluna jadi teringat ucapan pria itu tempo hari.

"Meskipun saya bosnya, saya tidak boleh izin terlalu sering."

Tak pantang menyerah, Aluna malah semakin memelototinya. "Nggak," pungkas Aluna singkat. Membuat Mahesa terdiam telak.

"Kalau begitu saya telpon supir untuk pulang ke mansion." Mahesa bersiap merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel.

"Nggak. Memangnya siapa yang merawat Bapak di rumah?"

RumpangWhere stories live. Discover now