part 7

66 16 0
                                    

maaf part nya agak pendek hehe

enjoy!

•••

Setelah berputar hampir satu sekolah untuk mencari keberadaan ruang BK, Ziva dan Aluna menyerah. Mereka menghentikan salah satu senior yang kebetulan lewat di koridor yang sama untuk menanyakan letak ruangan BK sekolah ini.

Maklum saja, mereka adalah siswa baru disini. Bahkan sesi pengenalan letak-letak sekolah saja belum dimulai, yang rencananya akan dilaksanakan siang nanti.

Setelah menemukan keberadaan ruang BK, ia segera memberitahukan pertengkaran yang terjadi antara Mahesa dan siswa lain di belakang ruang ganti perempuan, tanpa memberitahu soal video itu tentunya. Kebetulan, di ruangan BK hanya ada Pak Herman saja.

"Ya sudah, kalian silahkan langsung kumpul di lapangan saja, biar Bapak yang urus," ucap Pak Herman sambil berjalan cepat menuju lokasi kejadian.

Mereka berdua berjalan bersama menuju lapangan utama tempat peserta MPLS lainnya berbaris, setelah menaruh seragam di tas masing-masing. Banyak tanda tanya berputar di kepala Ziva. Apa yang terjadi? Siapa yang bertengkar? dan... apa yang terjadi dengan Kala, karena sekarang gadis itu malah menekuk wajahnya masam.

Untung saja mereka belum terlambat masuk ke barisan. Jadi mereka bebas dari hukuman.

•••

"Orang kok sudah pada gede masih aja berantem! Kayak anak kecil aja!" omel wanita paruh baya yang kebetulan adalah wali kelas Mahesa. Mereka bertiga berada di ruang BK. Wali kelasnya tak ada hentinya mengomeli mereka berdua yang duduk di kursi dengan kepala tertunduk.

Pak Herman muncul, duduk di kursi di hadapan mereka. Ia melirik wajah Mahesa yang dihiasi beberapa luka disana, lalu beralih tatap pada Rendy yang lebih babak belur.

Pak Herman berdeham pelan. "Jadi, kalian kenapa kok berantem?" tanyanya.

"Saya ditonjok, Pak."

itu jawaban Rendy.

Pak Herman bisa melihat Mahesa kembali mengeratkan genggaman tangannya, hingga buku-buku jarinya kian memutih.

"Sebentar, Nak Rendy. Saya bicara sama Hesa dulu ya."

Pak Herman melirik Mahesa, mengisyaratkannya untuk mengikutinya ke ruangan kecil yang ada di dalam ruangan BK.

Setelah mereka berdua masuk, mengunci pintu dengan aman, Pak Herman bertanya. "Dia beneran melakukan itu?"

Mahesa mengalihkan wajahnya ke samping, lalu mengangguk pelan dengan raut murung. Lelaki itu bisa melihat Pak Herman menghela napasnya berat.

"Saya sudah lama curiga ke dia, karena dengar-dengar dia sudah banyak melakukan pelecehan ke siswi lain. Tapi belum ada barang bukti yang kuat," ucap Pak Herman membuat kepalan tangan Mahesa kian menguat. "Makanya saya pengen kamu nyelidikin dia sewaktu kamu tadi lapor kalau dia bakalan beraksi kali ini."

Mahesa masih diam tak ingin berbicara. Rahangnya masih nyeri untuk sekadar membuka mulutnya.

"Gimana? kamu sudah dapat barang buktinya?" Setelah itu Mahesa mengeluarkan ponsel milik Rendy yang sedikit retak di bagian layarnya karena sebelumnya terbanting-banting ke tanah.

"Layar HP nya rusak, nanti saya transfer file lewat laptop."

Pak Herman mengangguk, lalu menepuk pelan pundak Mahesa, "Sip. Terima kasih ya, Mahesa."

Akhirnya kasus Rendy bisa diproses, bahkan mungkin bisa diajukan ke jenjang hukum yang lebih serius, ke meja hijau misalnya. Namun korban diharuskan menggugat pelaku terlebih dahulu.

Dan pihak wali dari Rendy meminta keringanan, bahkan memberikan sogokan pada sekolah agar anaknya masih bisa bersekolah dengan normal seperti biasa. Tapi sayang, hukuman bagi para pelanggar harus tetap dilaksanakan tanpa pandang bulu. Sekolah memutuskan untuk mengeluarkannya, namun dengan embel-embel pindah mengikuti orang tua. Jadi tak ada huru-hara yang tersebar luas mengenai kasus itu, dan nama baik sekolah masih bisa terselamatkan.

Video bukti korban juga telah dihapus, dan untungnya belum disebar oleh sang pelaku ke internet. Tahu kan, kalau jejak digital se-menyeramkan itu?

Namun ia tak pernah tahu menahu, siapakah pelaku yang merekamnya saat itu. Padahal Aluna berharap ia mengenali lelaki itu, agar suatu saat ia bisa menendang wajahnya bila kebetulan bertemu di suatu tempat.

Namun apa daya Aluna, yang lebih memilih untuk berlagak seperti orang bodoh tak tahu apa-apa. Itu pun demi kebaikannya juga, mungkin? Aluna menganggap bila ia speak up kalau dialah korbannya, dan kasusnya jadi menyebar seantero sekolah, Aluna akan mendapat gosip-gosip miring tentang dirinya. Orang-orang akan menatapnya sebagai 'korban pelecehan', yang menuai berbagai reaksi negatif. Ah, membayangkannya saja membuatnya tak sanggup. Aluna benci dikasihani seperti itu.

Akhirnya ia memilih membiarkan kasus itu menghilang dengan sendirinya, meskipun dirinya masih saja trauma masuk ke ruang ganti sampai saat ini.

Tak apa. Malah Aluna sangat ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk Mahesa yang telah membantunya meringkus si pelaku. Setidaknya si pelaku tidak berada di jangkauannya sewaktu sekolah, jadi ia masih sedikit merasa aman.

Dan tanpa sadar, mata Aluna selalu memantau gerak-gerik Mahesa dalam kejauhan. Yang pada akhirnya, lama kelamaan ia mengakui pada dirinya sendiri, bahwa ia mulai tertarik pada Mahesa setelah kejadian itu.

Seakan mempunyai suatu radar tersendiri, Aluna bisa dapat menemukan Mahesa dengan mudah. Entah di kantin, di lapangan basket, di barisan depan saat upacara, di parkiran pun ia berfirasat Mahesa ada di sekitarnya. Dan memang benar, ia menemukannya, menemukan Mahesa.

Dan kau ada, diantara milyaran manusia.
Dan ku bisa, dengan radarku, menemukanmu.

Sosoknya, wajahnya, perilakunya, semuanya membuat Aluna makin takjub. Kenapa Tuhan menciptakannya terlihat begitu sempurna di matanya? Bukankah ini tak adil, Tuhan?

Namun harapannya yang makin meninggi itu, mulai terkikis sedikit demi sedikit, setelah melihat kedua mata kecil Ziva yang berbinar ketika juga menemukan sosok Mahesa disana. Lalu menunjuk sosok itu dengan telunjuknya dengan penuh semangat. "Kal! lihat deh! ada Kak Mahesa disana, ganteng banget!"

Mengapa seketika Aluna lupa satu fakta, bahwa teman baru yang kini menjadi sahabatnya itu telah tertarik pada Mahesa terlebih dahulu daripada dia?

Munafik bila Aluna tak menginginkan Mahesa, namun ia masih waras dan sadar diri untuk mengalah. Klise-nya, ia memilih pertemanannya daripada cinta. Untung-untungan Ziva masih mau berteman dengannya. Kalau tidak, pasti Aluna terlihat menyedihkan karena ditinggal sendirian.

Boro-boro ia memilih cinta, Mahesa saja tak mengenalinya sampai saat ini. Bertemu tatap saja hampir tidak pernah. Karena itu Aluna selalu merasa, bahwa eksistensinya di dunia tidak sepenting itu. Layaknya seorang pemain figuran, atau sebuah karakter npc yang ada di game. Tidak terlalu penting, hanya sekadar pelengkap saja.

Ia tak mengubur dalam-dalam perasaan ini, Aluna hanya mencintai lelaki itu dalam diam, agar tak ada konflik apapun dengan sahabat satu-satunya itu.

Kejam ya? diam-diam menyukai apa yang disukai oleh sahabatmu terlebih dahulu. Sorry, but she can't help this feelings.

Dan rahasia itu tetap terkubur tanpa seorangpun yang tahu, sampai saat ini. Sampai perasaannya kian memudar ditelan jarak dan waktu.

to be continued.

RumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang