part 12

63 15 0
                                    

Cuaca Jakarta cerah seperti biasa. Penerbangan dengan tujuan Surabaya yang dijadwalkan pukul sepuluh pagi itu telah landing sempurna di bandara internasional Juanda Surabaya.

Kiran dan Mahesa berjalan beriringan keluar dari bandara. Satu mobil dengan merk mewah berwarna hitam menjemput mereka, lalu mengantarkan mereka ke rumah orang tua Mahesa.

Acara perkumpulan keluarga biasa diadakan oleh Ibu tiri Mahesa setiap 3 bulan sekali. Agendanya hanyalah para kerabat dekat yang kerap kali pamer kekayaan dan pencapaian yang telah dicapai. Kiran dan Mahesa hanya datang sesekali, karena Mahesa tak tega Kiran selalu dianggap bagai parasit disana.

Ayah Mahesa telah wafat empat bulan yang lalu. Beliau lah yang terkadang melindungi Kiran dari serangan tak menyenangkan di keluarga besarnya. Beliau sangat menyayangi menantunya sepenuh hati, meskipun Mahesa pernah menolak tawaran perjodohan dengan orang lain sebelum itu.

Setelah wafatnya beliau, kini keluarga besarnya bebas dan terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap Kiran. Bahkan sebelumnya, Kiran hampir meregang nyawa karena salah satu sepupu Mahesa 'tak sengaja' mendorong Kiran ke kolam.

Entah kejadian apa lagi yang akan menimpa Kiran kali ini. Mahesa tak ingin menunggu momen itu datang.

Mobil yang mereka naiki berhenti di satu mansion besar milik mertuanya, setelah sekitar satu jam lebih perjalanan dari bandara internasional Soekarno-Hatta.

Warnanya didominasi oleh warna putih gading dengan gerbang dan pagar besar mengitari sepanjang rumah. Tanaman hias dan rerumputan hijau memanjakan mata, menyelimuti hampir semua area depan mansion.

Keduanya turun dari mobil. Kiran bisa melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu raksasa yang ia taksir ukurannya setinggi lima meter lebih. Para dayang-dayang aka ART berjejeran dibelakangnya dengan kepala tertunduk. Seperti scene ratu arogan dan para pelayannya yang pernah Kiran tonton di televisi.

"Selamat datang." WandaㅡIbu tiri Mahesa merentangkan kedua tangan, menyambut anak tiri satu-satunya. Sedangkan Kiran yang ada di sisi kanan Mahesa, kontras sekali seperti tak diindahkan eksistensinya.

Lantas Mahesa merangkul bahu sang istri, menyuruhnya untuk menempel lebih dekat dengannya. Wanda memperhatikan mereka dengan raut tak suka.

"Halo, Ma. Gimana kabarnya?" tanya Mahesa seiringnya mereka mendekat. Mahesa menyalimi dengan mencium tangan sang Ibu sebagai tanda kesopanan dan kehormatan.

Wanda tersenyum. "Baik, Nak."

Ketika Kiran akan meraih tangan ibu mertuanya untuk disalimi, Wanda dengan sengaja menarik tangannya cepat. Kiran menatap kosong tangannya yang terulur bebas di udara tanpa sambutan.

Mahesa menghela napas kasar, jujur ia sangat marah bila istrinya diperlakukan seperti itu. Terkadang Kiran tak dianggap keberadaannya disini. Namun sekalinya dianggap, Kiran akan diperlakukan dengan tidak pantas.

"Masuklah, Mama sudah nyiapin kamar kalian." Wanda menatap sinis ke arah Kiran, lalu rautnya berubah kontras tersenyum manis pada Mahesa. "Keluarga yang lain bakal datang nanti malam," ujarnya lagi.

Mahesa menggeleng, "Nggak usah, Ma. Kami bakal nginep di hotel kok."

Wanda merengut. "Kok kamu tega banget sama Mama? Mama sendirian loh dirumah," ucap Wanda dengan raut sedih yang dibuat-buat.

"Banyak saudara-saudara lain yang bakal nginep disini," ucap Mahesa tak acuh. Membuat sang ibu menghela napas tak habis pikir.

Mereka berjalan memasuki mansion yang sangat luas itu. Sengaja mereka meninggalkan barang bawaan yang lain di dalam bagasi mobil karena mereka tak menginap disini. Mahesa telah memesan kamar hotel untuk mereka menginap beberapa hari di Surabaya.

RumpangWhere stories live. Discover now