part 11

61 16 0
                                    

"Halo, Ibu. Ibu sehat?"

Wanita paruh baya itu tersenyum manis. Bagi Aluna, Ibunya memiliki senyum paling indah di dunia, tiada tara. Ia rela mati atau apapun itu, demi melihat senyum Ibu tetap terpatri di wajah beliau.

"Sehat, Nak. Luna gimana?" Ibu berganti tanya.

Aluna mengangguk. "Sehat, Bu."

Pagi hari ini, Aluna menyempatkan diri untuk berkunjung ke panti. Ibu sudah pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Sebelumnya Aluna juga rutin ke rumah sakit untuk mengunjungi Ibu beberapa kali, tak jarang dirinya juga menginap untuk menemaninya.

Hari ini, ia sudah menelepon Kiran untuk meminta izin mengunjungi panti. Seperti yang telah tertulis di surat perjanjian, ia diwajibkan untuk mengabari di manapun dirinya pergi.

Kini ekspresi Ibu berubah pelan, rautnya terlihat cemas. "Kamu... dapet uang buat operasi Ibu darimana, Nak? Ratna bilang, semua biaya kamu yang biayain," ungkap Ibu penasaran, "pasti jumlahnya nggak sedikit," imbuhnya dengan nada khawatir.

Aluna menunduk guna menutupi wajah gelisahnya, jari-jarinya memilin satu sama lain.

"Kamu nggak jual diri kan, Lun?"

Aluna mengangkat wajahnya cepat mendengar penuturan itu. Ia tersenyum masam, lalu menggeleng pelan.

"Nggak, Bu. Yakali Luna kayak gitu," jawabnya pelan.

Padahal, sama saja. Secara implisit Aluna telah menjual tubuhnya sendiri. Menyewakan rahimnya, untuk mengandung anak orang lain.

Tapi tak apa, selama Ibu masih bisa tetap di sisinya, Aluna akan lakukan apapun demi Ibunya.

"Kamu pinjam dari mana?" Ibu masih saja memancingnya untuk menjawab.

Namun dengan cepat, Aluna mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, Bu. Gimana waktu di rumah sakit? Ada cerita menarik nggak?"

Terbawa arus yang diciptakan Aluna, dengan antusias Ibu menceritakan pengalaman-pengalamannya selama menjalani perawatan di rumah sakit. Aluna memperhatikannya dengan ramah, lalu tersenyum di setiap kalimatnya.

Ia hanya tak ingin Ibu mengungkit-ungkit bagaimana caranya membayar semua ini. Untuk sementara waktu, biarlah ini menjadi rahasia. Apalagi mengenai kehamilannya saat ini, ia masih tak ingin Ibu untuk tahu. Juga peliknya masalah yang dialami Aluna, yang akhirnya membuatnya berakhir seperti sekarang.

"Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Lun."

Kini Aluna terdiam lagi. Sepersekian detik menatap wajah yang penuh sarat akan keingintahuan itu. Ia mengalihkan wajahnya agar tak kentara apabila ia berbohong. "Luna pinjem dari bank, Bu."

"Jumlahnya berapa? Nanti Ibu bantu cicil, nggak apa-apa ya?" tawar Ibu, "ibu belum punya uang lagi soalnya." Ucapan Ibu membuat Aluna menggeleng, menolak keras.

Aluna meraih kedua sisi tubuh Ibu dengan lembut, menatapnya dengan lekat. "Ibu... nggak usah. Biar Luna aja yang bayar semua. Ibu fokus aja sama anak-anak lain." Ucapannya bagai semilir angin segar meraup pendengaran. "Anggep aja ini ucapan terima kasihku buat Ibu, yang udah ngerawat aku dengan penuh kasih sayang dari kecil." Aluna tersenyum, menatap sang Ibu yang kini berlinangan air mata. Tak lama kemudian mereka saling bertumbuk dalam pelukan hangat.

Hingga Aluna berpamitan meninggalkan panti, dengan rahasia kehamilannya ia simpan dengan rapih, tanpa memberitahukannya sama sekali.

•••

Sampai sekarang, morning sickness yang dialami Aluna masih rutin dirasakannya. Terkadang Aluna sampai terkapar lemas di samping toilet tempat ia memuntahkan isi perut. Menjijikan memang, tapi tubuhnya terlampau lunglai untuk sekadar duduk.

RumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang