part 2

131 23 3
                                    

Suara jarum jam berdetak memecah kesunyian ruangan. Ruangan serba putih itu sangat luas. Terdapat satu ranjang pasien dan sebuah sofa kulit berwarna cokelat yang terlihat sangat empuk untuk diduduki.

Ruangannya bercat putih, tak ada hiasan dan ornamen memanjakan mata. Tak ada televisi atau sumber hiburan lain. Kamar mandi terkesan kosong tanpa cermin atau peralatan lain yang berpotensi membahayakan pasien.

Akhirnya Kiran diharuskan menjalani rawat inap selama kurang lebih dua hari, untuk memulihkan kondisi mentalnya. Karena adanya indikasi mencelakai diri sendiri yang dilakukan Kiran, ia ditempatkan di kamar bangsal kejiwaan.

Perasaan Kiran jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Setelah ia dipertemukan dengan wanita itu. Penyelamatnya.

Setelah aksi tangis menangis beberapa waktu lalu, mereka akhirnya saling berkenalan. Wanita itu bernama Aluna.

Kiran bersyukur Aluna menyelamatkannya. Ia sungguh berhutang budi padanya.

Awalnya ketika Aluna berkata bahwa suaminya sedang menuju kemari, Kiran sontak tertawa kecil ketika mendengar hal itu, ia menganggap informasi itu seperti angin lalu.

Karena sangat tidak mungkin Mahesaㅡsuaminya yang workaholic itu datang menemuinya ketika pria itu saja sedang diluar kota untuk bekerja.

Namun ternyata Kiran salah.

Ketika Kiran mengalihkan pandangannya, ia mendapati pria dengan setelan kerja lengkap itu membuka kamar rawat inapnya, mendekat ke arahnya dengan tergesa.

“Kamu baik-baik aja kan?” Pria itu menggenggam tangan kanannya ketika berhasil mendekat di sisi Kiran. Mahesa mendapati sedikit kesulitan sebelum bertemu dengan istrinya ini. Beberapa perawat tak mengizinkannya masuk ke ruang rawat inap bangsal kejiwaan di luar jam kunjungan. Namun akhirnya Mahesa tetap bisa menemui istrinya berkat pengaruhnya.

Tatapannya yang terlihat sangat khawatir itu sedikit melunak ketika menemukan mata sang istri tengah menatapinya. Pria itu menghela napas panjang, tak lupa meraih sisi kepala Kiran, dan mengusap kepala istrinya lembut.

Kiran tak menyangka pria itu akan datang beberapa jam setelah mendapati kabar tentang kondisinya.

Tetapi ia yakin pria itu bersikap seperti ini untuk formalitas saja, sebagai suami yang baik atau apalah itu.

“Aku batalin jadwal rapat direksi siang ini, setelah dengar kondisimu.”

Kiran mematung mendengar penuturan pria itu. Mahesa Aldavendra, pria yang merupakan suaminya sejak tiga tahun yang lalu hingga saat ini.

Kiran melipat bibirnya ke dalam. “Maaf, karena aku ngacauin rapat kamu. Harusnya kamu nggak usah datang kesini.”

Hesa mengernyitkan dahinya. “Kamu istriku. Suami macam apa aku, kalau aku nggak nemenin kamu?” tuturnya tak suka.

Tangan dengan infusan itu terkepal, “Jangan berlebihan, Hes,” peringatnya. Kiran menatap kosong selimut biru yang tersampir di pangkuannya.

Mahesa menghela napas, ia meraih kedua tangan istrinya lalu menatap mata kosong itu dengan intens. “Kenapa kamu melakukan itu?”

“Bukannya aku sudah bilang tadi?” ucap Kiran seraya mengernyit. Sebenarnya ia tak ingin membahas ini lagi.

“Aku nggak ngerti maksud dari ucapanmu apa, yang pasti aku panik banget, Kiran.”

Akhirnya ia meraih tasnya yang berada di atas nakas samping ranjang, mengeluarkan sebuah map berisikan berkas pemeriksaannya beberapa saat lalu. Diberikan berkas itu pada suaminya, Mahesa membuka map tersebut, lalu membaca isinya dengan saksama.

“Jadi, ini jawaban kenapa kamu nggak hamil-hamil sampai sekarang?” ucap Mahesa setelah beberapa saat menelisik berkas tersebut. Kiran menundukkan kepalanya dalam, bergumam mengiyakan.

Kepalan tangan Kiran yang tergenggam kuat kini terangkat di udara, gesturnya terlihat seperti akan memukul perutnya. Namun ia tersadar dan langsung mengusap pelan perut bagian bawah tepat dimana rahimnya berada. “Sialan,” desis Kiran sedikit bergetar.

Sudah berjalan tiga tahun pernikahan, namun buah hati tak kunjung hadir dalam kehidupan mereka. Desakan serta sindiran dari keluarga suaminya membuat Kiran sangat tertekan.

Apapun akan Kiran lakukan, hanya untuk membuat dirinya tak berhutang apapun pada pria itu.

Awalnya Kiran curiga mendapati dirinya yang tak kunjung isi, padahal mereka lumayan sering berhubungan badan. Mereka tentu mengusahakan yang terbaik untuk mempunyai keturunan, seperti yang Mahesa inginkan sebelumnya.

Alasan demi alasan mereka lontarkan pada pihak keluarga sang suami. Kiran seringkali berkilah dengan menjawab, “Aku dan Hesa memang masih menunda punya anak.” Padahal Kiran sendiri juga kebingungan mengapa ia tak kunjung hamil sampai sekarang.

Dan hari ini, ia memeriksakan kandungannya di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat. Hasil pemeriksaan diberikan, dokter menerangkan bahwa kemungkinan besar dirinya mandul karena rahimnya yang abnormal.

Air mata Kiran tidak dapat dibendung lagi, wanita itu menangis. Kenyataan ia tidak dapat mengandung memang sangat menamparnya.

Maka dari itu, terjadilah kejadian naas di hari ini.

Pikirannya kalut, selalu membawanya pada pikiran mengakhiri hidupnya. Ia memanjat tembok pembatas rooftop rumah sakit, setelah berpuas ria menangisi nasib yang menyedihkan.
Namun sebelum Kiran melompat, seseorang menyelamatkannya.
Kiran tak ingat saat itu, karena dirinya telah sepenuhnya tak sadarkan diri. Tahu-tahu setelahnya ia sadar, Kiran terbaring di IGD.

Bersama dengan seorang wanita menemani di sampingnya.
Wanita itu bak seorang malaikat. Menenangkannya, menyadarkannya, dan menyentuh hatinya yang meredup tak berwarna. Aluna namanya.
Berkat wanita itu, Kiran menyadari, bahwa tindakannya itu sangatlah salah.

Aluna telah mengembalikan keyakinannya, bahwa Tuhan akan memberikan balasan kebahagiaan itu suatu saat nanti. Dengan senang hati Kiran akan menunggu hal itu terjadi.
Namun sebelum itu, Kiran harus menyelesaikan apa yang belum ia tuntaskan. Yaitu pernikahan mereka.

Hubungan mereka berdua adalah sebuah kebohongan besar. Mereka bukanlah sepasang suami-istri yang saling mencintai, karena pada dasarnya hubungan ini tercipta dengan kontrak yang mengikat keduanya.

Dahulu, mereka adalah teman sebatas kakak-adik tingkat kuliah. Mereka menempuh pendidikan dengan prodi yang sama, dan universitas yang sama pula. Hubungan pertemanan mereka sangat menyenangkan, tak ada kecanggungan di dalamnya.

Lalu beberapa tahun setelah Mahesa lulus, Mahesa resmi menjabat jabatan tinggi di perusahaan milik ayahnya. Ambisi demi ambisi Mahesa kerahkan, selalu ia dapatkan dengan mudah. Hingga satu bom nuklir terbesar dilempar oleh kedua orang tua Mahesa pada pria itu.

“Gue dijodohin,” Mahesa berucap pelan pada perempuan di depannya, tiga tahun yang lalu.

Musik berdentum keras memekakan pendengaran. Pengelihatan sekitar terasa remang-remang dengan lampu disko sebagai pemanis suasana. Para pria dan wanita dengan pakaian terkesan kurang bahan saling berjoget ria di lantai dansa.

Reflek perempuan itu menyemburkan tawa, sejenak ia menyesap pelan sampanye dalam gelas flute yang ia pegang. Perempuan itu engangkat sebelah alisnya heran. “Tinggal tolak aja. Apa susahnya?”

You know Mrs. Aldavendra so damn well, Kiran.”

“Uh-um. Nyokap lo pemaksa,” ucap Kiran, mengangguk setuju. “Lalu gimana? Coba lo terima tawaran nyokap lo deh, kali aja cewenya tipe lo banget.” Kiran menyesap sampanyenya lagi dengan santai sambil terkikik kecil.

“Gue tau siapa, dia anak dari Dirut perusahaan yang ngebet nyuruh bokap buat ngasih suntikan dana ke perusahaannya yang hampir bangkrut, dan dia nawarin anaknya ke gue,” jelas Mahesa membuat perempuan di depannya mendekat karena tertarik.

“Siapa?”

“Nggak tau. Dari gosip yang gue denger, dia anaknya matre abis.” Mahesa bergidik ngeri.

Tawa Kiran tersembur diantara bisingnya klub malam yang mereka singgahi di Jakarta. “Lo ternyata update juga di dunia pergosipan ya?”

“Sebenernya orang tua gue ngasih syarat buat mewarisi perusahaan, dengan menikah. Dan beliau juga Cuma butuh gue punya penerus dari istri sah,” jelas Mahesa panjang lebar. “Cuma lo bayangin aja tiap hari nemuin wajah orang yang nggak lo suka, mana matre lagi. Gue nggak mau.”

Kiran bergumam. “Oh, berarti lo nggak apa-apa semisal pernikahan lo nggak dilandasi oleh cinta?”

Mahesa mengangguk tanpa ragu. “Emangnya di dunia ini, cinta itu nyata?”

Kiran memutar bola matanya, jengah dengan lelaki anti-romantis di depannya ini. “Ada, kalo lo nemuin orang yang tepat.”

Hingga keduanya terdiam diredam kebisingan musik DJ. Mereka saling berpikir mengenai masalah mereka masing-masing. Karena itulah yang membuat mereka berakhir singgah di klub ini untuk melepas penat.

“Lo ada masalah juga? Tumben banget lo minum?” ucapan Mahesa bagaikan alarm penggugah jiwa. Kiran tersadar dari lamunannya dan mengerjap. Mahesa menyadari kebiasaannya yang seringkali minum ketika masalah besar melandanya.

Perempuan itu menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, lalu menghela napasnya berat. “Gue kelilit hutang.”

Mahesa mengernyit, sedikit terkejut. “Banyak?”

“Banyak.” Kiran menghela napasnya lagi. “Dan gue kayaknya berniat buat nyari gadun aja,” canda Kiran seraya tertawa renyah.

Mahesa termenung lagi, ia tahu Kiran mengatakan itu dengan niat bercanda. Namun dirinya tahu sifat Kiran yang luar biasa nekat, dan hal itu membuat Mahesa sedikit khawatir.

“Let’s get married then.”

Bagai petir di siang bolong, Kiran menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya.

“Gampang banget lo ngajak gue nikah kayak ngajak main kelereng,” cibir Kiran menganggap remeh ucapannya, “emang lo cinta sama gue?” tanyanya.

Mahesa menggeleng. “Tapi gue bisa lunasin hutang lo yang mungkin nggak seberapa itu. Dan gue juga bisa nolak perjodohan dari nyokap gue dengan nikahin lo.”

“Gue nggak cinta sama lo,” ungkap Kiran jujur, Mahesa mengangguk paham.

That’s the point. Itu bakal memudahkan gue nantinya. Gue bahkan nggak percaya cinta,” jujur Mahesa pada akhirnya.

“Gue matre, lo nggak suka cewe matre.”

“Lo matre karena hutang lo kan? At least yang bakal gue nikahin adalah orang yang gue kenal deket, bukan orang lain.”

“Hutangnya banyak, Hesa…” Kiran memijit pelipisnya yang mulai pening.

“Berapa?”

“Lo nggak perlu tahu.”

“Lo ngeraguin kekayaan gue, Kir?”
Napas lelah Kiran terhembus keras, menyerah akan sikap keras kepala Mahesa. “Cuma pernikahan ini aja yang lo butuhin?” tanyanya.

“Dan anak,” jawab Mahesa lugas.

“Setelah gue kasih lo anak, gue boleh cerai dari lo?”

It’s up to you.”

“Oke, let’s make the contract.”

Begitulah awal Kiran terjebak disini, dengan kontrak mutual yang telah mereka sepakati. Tiga tahun berlalu, Mahesa pun sudah melunasi semua hutang-hutangnya. Namun Kiran belum juga memberikan pria itu anak sesuai dengan perjanjian.

Setelah mengetahui nasibnya yang memprihatinkan, Kiran tak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. Posisinya serba salah. Maju tak sanggup, mundur juga tak bisa. Mati pun tak bisa menjadi opsi yang bijak.

Dengan status mandulnya, Kiran tak akan bisa mengandung anaknya bersama Mahesa. Namun bila Kiran tak dapat memenuhi perjanjian, ia akan dijatuhi penalti sebesar tiga kali lipat dari hutang Kiran sebelumnya. Begitulah isi dari kesepakatan mereka.

Belum tiga kali lipat saja, Kiran sudah pontang-panting. Apalagi dikalikan tiga? Mau mencari di mana?

Sebenarnya, ada satu alternatif yang diberikan oleh dokter kandungannya ketika ia check up sebelumnya. Namun Kiran sangsi, hal tersebut pasti akan membuat Mahesa murka. Akhirnya, ucapannya itu tertahan di ujung lidah tanpa diucapkannya.

to be continued.

RumpangWhere stories live. Discover now