part 23

69 18 0
                                    

Tempat makan malam yang mereka singgahi bukanlah restoran mewah bertajuk bintang lima atau michelin star. Atas kemauan Aluna, mobil mereka berbelok ke sebuah kawasan ruko yang di dalamnya terdapat warung bakso Solo favoritnya.

Tempat parkir yang lumayan jauh, membuat mereka berjalan sejenak untuk sampai ke warung bakso solo bertenda biru itu.

Warung bakso Solo tersebut merupakan salah satu warung makan favorit Aluna sejak menjadi anak kos. Enak dan murah meriah. Ketika ditanya oleh Mahesa ingin makan dimana, alih-alih menjawab terserah, Aluna langsung saja menjawab Bakso Solo dengan penuh semangat.

Aluna merasa tak enak bila meminta sesuatu yang berlebihan, apalagi soal makanan. Boro-boro meminta restoran bintang lima, makan bakso saja Aluna sudah sangat bahagia.

"Pak, bakso komplit satu porsi sama es jeruk satu ya!" Aluna berseru dengan tangan kanan terangkat. Wanita itu menoleh ke arah Mahesa yang terlihat kebingungan. "Pak Mahesa mau apa?"

"Sama kan saja seperti punyamu."

Aluna kembali berteriak kepada sang penjual, "Tambah masing-masing satu ya, Pak!"

Mereka berdua duduk berhadapan di salah satu meja yang tersedia. Awan berubah mendung, tak menyurutkan senyuman Aluna yang sepertinya sedang bahagia.

"Pak Mahesa belum pernah makan di tempat seperti ini?" tanya Aluna penasaran. Karena melihat raut pria itu terlihat bingung sekaligus penasaran dengan tempat ini. Kepalanya tak henti celingukan sana-sini membuat Aluna menahan tawanya.

Mahesa mengangguk polos. "Iya."

Aluna meringis. "Maaf ya, Pak. Lagipula... kalau ditanya rekomendasi restoran mewah mah, saya nggak tahu." Ia tersenyum penuh makna. "Saya jarang atau bahkan nggak pernah makan di restoran mewah. Makanya saya minta makan di warung bakso saja."

"Benarkah? Belum pernah sama sekali?" tanya Mahesa agak terkejut.

Aluna tertawa kecil dan mengangguk. "Kenapa ya, kalian yang terlahir dengan sendok emas, selalu mengira semua orang pasti mendapatkan apa yang kalian juga dapat?"

Mahesa menaikkan sebelah alisnya. "Contohnya?"

"Ya, seperti Pak Mahesa tadi. Sepertinya Bapak mengira saya pasti pernah makan di restoran mewah walaupun sekali." Perkataan Aluna membuat Mahesa terdiam. Pria itu menunggu Aluna menyelesaikan kata-katanya. "Bahkan saya pernah membaca di internet, ada orang yang nggak tahu, kalau nggak semua orang mempunyai kamar tidur atau bahkan tidak bisa bersekolah."

"Bukannya itu adalah kebutuhan pokok dan hak setiap orang? Untuk memiliki ranah privasi mereka masing-masing dan pendidikan pasti semua orang bisa dapat, kan?" tanya Mahesa terheran.

Aluna mengangguk. "Betul, tapi nyatanya nggak semua orang mampu untuk memiliki itu."

Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Seolah mendapat informasi baru yang belum ia dengar sebelumnya.

Selama ini kehidupannya memang hanya berputar dalam lingkup keluarga yang mampu secara ekonomi. Ia kira, semua orang pasti bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka yang paling dasar. Namun dari Aluna ia menyadari bahwa sikap apatisnya dengan lingkungan sekitar, mungkin menyakiti hati wanita itu tadi. Mahesa jadi kepikiran, bagaimana nasib orang-orang yang tak seberuntung dirinya sekarang.

"Maaf karena menyinggung perasaanmu tadi."

Aluna terbahak pelan, "Nggak apa-apa, Pak. Justru saya juga berterimakasih, karena donasi rutin yang keluarga Bapak lakukan, panti jadi nggak kekurangan." Aluna tersenyum penuh arti. "Pak Mahesa telah menghidupi banyak anak di panti, termasuk saya."

RumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang