69 (END)

6K 509 65
                                    

⚠️ Jangan sangkut pautkan adegan dalam cerita ini dengan kenyataan.
.
.
.
.
.
.

Ada beberapa hal yang tak bisa Genta mengerti, terutama adalah diri sendiri. Kadang kali ia merasa bahwa menikah dengan Reksa adalah sebuah keputusan paling baik yang ia ambil, kadang pula sisi dirinya seolah berpikir, apakah keputusan ini benar?

Bagaimanapun Genta masihlah muda, belum menginjak kepala dua. Orang-orang seusianya sedang sibuk menempuh pendidikan, bukan mengurus suami, apalagi anak.

Tapi bukan dalam artian bahwa Genta menyesali melahirkan Artha, itu hanyalah pemikiran yang kadang kali melintas random di otaknya. "Tidak apa", setiap Genta berbicara mengenai apa yang ia rasakan, begitu respon dari beberapa orang. Katanya biasa hal itu terjadi menjelang pernikahan.

Hari-hari berlalu terasa begitu mengambang. Bukan Genta tidak excited, tapi dia hanya merasa, saking cepatnya waktu tidak bisa dikejar dengan cara kerja otaknya yang lambat. Seperti dunia berjalan dua kali lebih cepat, dan Genta justru dua kali lebih lambat. Melihat keluarganya yang sibuk mengurus pernikahannya, sedang ia calon pengantin terlalu sering bengong karena tidak tahu mau melakukan apa.

Ditawari ini boleh saja, ditawari itu terserah. Konsep pernikahan belum pernah Genta pikirkan, dia tidak memiliki bayangan tentang pernikahannya seperti apa. Yang ia pikir hanyalah, ia akan mengucap janji suci, setelah itu memiliki keluarga kecilnya sendiri.

"Heh, jangan melamun."

Genta merasa pundaknya bergoyang. Ia mendongak melihat Arda, wajahnya sedikit panik dan tampilannya lebih acak-acakan.

"Kenapa kak?" Genta balik bertanya. Ia merasa lamunannya tidak merugikan sama sekali.

"Tuh kan ngelamun. Daritadi natap kaca tuh kamu ngeliat gak sih wajah kamu digimanain aja?"

Secara spontan Genta kembali memusatkan perhatian pada kaca yang memantulkan tampilannya. Masih mengenakan baju tidur, bedanya hanya bagian wajahnya sedikit dirias. Tidak tebal sama sekali, bahkan Genta tidak tahu apa bedanya ia yang dirias dan tidak, kecuali area bibir yang sedikit lebih berwarna.

"Kamu mikirin apa sih, Ge?"

Genta menunduk, kedua tangannya terjepit diantara dua kaki. Lalu ia berkata: "Aku gugup kak."

Saking kecilnya suara, hampir tidak terdengar oleh Arda. Arda hanya menggeleng maklum, kemudian dua tangannya menyentuh pundak sang adik.

"Gak akan gimana-gimana, percaya deh sama kakak."

"Tapi bakalan banyak yang liat."

"Banyak gimana? Wong yang diundang cuman keluarga deket aja."

"Ya tapi kan- ssst..."

Belum juga selesai bicara, telunjuk Arda sudah membungkam mulut Genta, membuat pemuda omega itu tak lagi membuka mulutnya.

"Sekarang kamu siap-siap sendiri, pake bajunya. Kakak juga belum siap-siap, kita udah telat."

Bersamaan dengan itu pintu dibuka membuat dua orang didalamnya langsung menoleh ke sumber suara. Disana Diana berdiri dengan pakaian yang sudah rapi, mukanya sudah full make up. Melihat sang anak yang belum juga siap, wanita itu langsung berdecak.

"Kok belum sih? Udah siang tahu!"

Arda tak mau repot-repot menjawab, dia menyerahkan tugas ini kepada sang ibunda dan segera pergi lari keluar ruangan.

Diana mengambil satu set pakaian dan langsung menarik tangan Genta menunju cermin yang menampilkan secara full tubuh Genta dari atas sampai bawah.

Belum cukup sampai sana keterkejutannya, Genta dibuat lebih terkejut lagi saat ibunya mulai membuka kancing baju Genta tanpa banyak bicara, membuat bola mata Genta seakan keluar saking terkejutnya.

IlusiWhere stories live. Discover now