58

3.9K 516 62
                                    

"Kamu gak ada rencana buat nikah?"

Kalimat itu mampu membuat air wajah Reksa berubah menjadi datar, namun dalam detik selanjutnya senyum kecil penuh makna terpampang. Pemuda itu menunduk, pikirannya seolah lupa dengan apa yang barusan ia lakukan.

"Rencana? Reksa gak tau."

Disamping ia sibuk dengan masa-masa kuliahnya, bahkan bekerja part time hanya untuk menambah biaya hidup, pemikiran menikah itu terlalu jauh ia gapai dalam waktu dekat. Pikir Reksa mulai mengelana...

"Reksa... Kamu gak pikirin? Bukan cuman nasib kamu, nasib anak orang, bahkan anak kamu sendiri juga. Harusnya kamu udah ngerti, kita hidup di negara kayak apa, segalanya bakal susah Sa."

Telinga Reksa rasanya berdenging atas untaian kata yang terdengar. Ayahnya tidak salah, namun ada sudut dimana pria itu tidak mengerti keadaannya.

"Bukan Reksa gak pikirin, Pah. Justru terlalu banyak yang Reksa pikirin buat ngambil keputusan kayak gini. Menikah emang mudah, bahkan kalau gak mau ngeluarin banyak uang ya cuman pemberkatan aja. Tapi hal lain yang Reksa pikirin itu, gimana cara Reksa nanggung hidup anak orang? Kalau Reksa nikah otomatis Gege tanggungan Reksa kan secara harfiah? Sedangkan Reksa? Reksa masih kuliah, punya kerjaan tapi gaji gak seberapa. Boro-boro nafkahin anak orang, anak sendiri aja masih keteteran."

Mungkin dalam sejarah hidup Rama ini adalah pemikiran paling jauh yang putranya pikirkan. Rama mungkin tak sepeka dan sedekat sang istri atas hidup putranya, namun Rama sedikitnya memantau bagaimana tumbuh kembang sang anak. Reksa selalu kenakan, bagi Rama beberapa bulan yang lalu. Tidak disangka hanya karena satu kecelakaan perubahan drastis Rama rasakan dalam diri pemuda itu. Dari segi pemikiran maupun tindakan.

Pria itu mendekat, kedua tangannya bertumpu pada pundak sang anak, kini lebih tinggi darinya.

"Pikiran kamu gak salah, Sa. Cuman banyak sisi yang harus kamu pikirin juga, bukan cuman kita, tapi pikirin pandangan orang lain juga."

Reksa menarik tangan yang lebih tua, pandangan pemuda itu dilempar kemana saja asal menjauh dari manik legam sang ayah. Reksa duduk ditepian ranjang, menunduk menatap lantai. "Buat apa mikirin orang," gumamnya.

Rama menggelengkan kepala atas respon yang lebih muda. Bunyi ketukan di pintu yang terbuka mengambil alih atensi keduanya. Kirana, wanita itu datang dengan sebuah senyuman, mengambil tempat di samping sang putra lalu merangkulnya.

Kirana tahu bahwa sang suami sudah merencanakan hal ini. Dan ia perlu ikut andil dalam segala permasalahan.

"Kamu harus inget Sa, kita mahluk sosial mau atau gak mau kita pasti saling berhubungan dengan orang lain. Menurut kamu mungkin gak penting pandangan orang lain ke kita, tapi kalau kamu coba ngerti pasti kamu paham. Selain itu kamu gak mikirin nasib Artha gimana? Gimana pandangan orang-orang ke anak kecil gak bersalah itu. Kamu gak mau kan anak kamu diolok-olok sebagai anak haram." Dilanjutkan oleh Kirana, wanita itu sedikit mendengarkan percakapan sebelumnya, yang diangguki oleh sang suami.

Denyut nyeri reksa rasa kala akhir kalimat ibunya utarakan. Meski pada faktanya Artha adalah hasil kesalahan, rasa sayang Reksa pada putranya tidaklah main-main, tidak ada pula kebencian. Reksa sayang, begitu sayangnya sampai-sampai memiliki keinginan segala sesuatu yang dikeluarkan untuk keperluan bocah kecil itu harus berasal dari jeri payahnya. Namun sayang, faktanya Reksa tak seberguna itu, ia belum mampu menafkahi Artha layaknya seorang ayah pada umumnya. Bagian besar bocah itu masih ditanggung oleh dua keluarga.

"Terus apa yang harus Reksa lakuin? Nikahin Gege dalam kondisi kayak gini? Pah, Mah, Reksa bukannya gak mau, cuman keadaan ini gak jelas."

Rama menepuk-nepuk pundak sang putra tunggal. Sedikitnya Rama bisa mengerti. Ada senyum sedih berselimut bangga disana.

IlusiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt