11

6.1K 624 6
                                    

28 November 20xx
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis sang omega. Bagaimana bibirnya bergemeletuk, dengan tangan yang mengapit erat bagian perutnya. Ketika rasa aneh yang mulai ia rasa semakin parah, maka Genta dengan cepat bangkit dari tidurnya, berlari ke kamar mandi tunggang-langgang seolah di kejar sesuatu.

Muntahan demi muntahan, setiap yang masuk ke dalam tubuhnya seolah di buang beberapa jam setelahnya. Raut wajah yang lelah, tubuh yang terasa lemah membuat Genta tak berdaya.

Terhitung lebih dari dua Minggu sejak Genta tidak sekolah, bukan dengan alasan sakit, melainkan sebuah ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.

Dirinya menunduk, meringis pelan hingga menitikkan air mata. Tangan yang mengepal seolah menyuarakan hatinya, ada rasa marah dan sedih yang tidak bisa dibendung lagi. Genta seolah bukan dirinya, marah dan menangis seolah menjadi makanan sehari-hari dirinya kali ini.

Bugh!

Lantai kerasa nan basah di pukul kuat, menimbulkan debuman kuat dan rasa sakit yang menjalar membuat tangan Genta memerah seketika. Salah satu tangan Genta masih bertengger erat pada perut yang rata, merematnya kuat seolah ingin menghancurkan.

"Kenapa jadi sejauh ini?" Hanya mampu bergumam, manik Genta memejam erat. Lalu tidak lama bagi dirinya untuk bangkit, naik ke atas ranjang lantas duduk terdiam membisu.

Gelap dan sepi , Genta memerhatikan kibaran gorden, cahaya kemerahan dari sana menunjukkan waktu yang sudah sore. Omega itu kembali berdiri, membawa tubuh lemahnya menuju jendela.  Menyibak kain itu pelan, suasana baru langsung terasa olehnya.

Di bawah sana anak-anak sedang bermain dan tertawa, ada juga orang dewasa yang tengah melakukan aktivitas sehari-hari. Di pojokan sana lebih tepatnya di sebuah rumah, Genta bisa melihat anak-anak seusianya berfokus pada sesuatu, tampak seperti tugas sekolah.

Rasa sedih tiba-tiba memenuhi hatinya. Bibirnya bergetar, ujung  matanya berair. Genta menutup wajahnya dengan tangan, berjongkok menahan isakan.

Sejak kapan ya dia mulai selemah ini?

Ketukan di pintu bahkan tidak dihiraukan olehnya, suara Erza memenuhi gendang telinga. Tapi Genta tidak sedikitpun memiliki niatan untuk menghampiri sang kakak, dirinya terlalu takut untuk bertemu orang lain.

"Ge, gue mau ngomong sama lo."

Hening, tidak ada jawaban. Erza terdiam termangu, tubuhnya bersandar pada pintu, tatapannya murung membuat Mama yang di sampingnya hanya mampu diam membisu.

"Biar Mama."

Erza menggeser, memberikan akses bagi sang ibunda untuk menggantikan tempatnya. Ketukan yang terdengar lebih lemah, suara Mama masih selembut biasanya. Tidak ada sedikitpun kemarahan sebab sang Putra mendekam di dalam sana sekian lama, dia masih bersabar untuk waktu yang lama.

"Ge, kamu mau makan? Mama bawain nasi."

Biasanya jika seperti itu Genta akan keluar, karena bagaimana pun keadaannya manusia tidak akan lepas dari kebutuhan seperti makan. Tapi kali ini hanya keheningan yang menjawab, wanita itu menatap nasi di sisi lain tangannya.

"Kalo ada masalah cerita ya sama Mama. Mama sedih kamu begini. Kamu gak bohong kan bilang kamu sakit?"

Cklek.

Pintu terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi dipanggil. Namun baik fokus Erza dan Mama justru tertuju pada manik sembab dan mata memerah, ada pula sisa-sisa air mata yang tampaknya tidak terhapus.

IlusiWhere stories live. Discover now