05

8.4K 845 3
                                    

05 Oktober 20xx, 3 hari setelah kejadian.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Erza tahu dia bukan kakak yang baik, bukan juga individu yang selalu bisa diandalkan. Mungkin lebih banyak minusnya, meski pintar di bidang olahraga, sangat disayangkan Erza agak nakal pada usianya.

Mengganggu Genta itu bagaikan suatu keharusan yang terjadi setiap hari. Rasanya jika tidak menggangu sang adik sekali saja, Erza merasa kurang. Tapi sekarang...

Erza menghela nafas, mengetuk pintu didepannya pelan.

Hening, tak ada jawaban.

Erza tidak tahu apa yang terjadi, tapi Genta sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Mama bilang sakit, tapi parahnya bocah itu tidak keluar sedikitpun. Pintu di kunci, tidak ada cahaya dari dalam.

Aneh...

Lagi, ketukan kedua dilayangkan. Masih sama, tidak ada jawaban.

Sebuah tepukan mengagetkan Erza dari lamunannya. Arda, sang kakak menunjukkan gestur bertanya. Dari penampilannya terlihat jika Arda siap bekerja, pasalnya gadis beta itu sudah siap dengan kemeja serta rok selutut miliknya. Tipikal gadis kantoran dengan jabatan tinggi. Padahal emang iya sih.

"Gege masih belum keluar?"

Erza mengangguk. Helaan nafas muncul, Arda mengetuk pintu itu sedikit lebih keras, dibarengi teriakan.

"Ge, kamu udah makan belum? Jangan ngurung diri di kamar terus. Sakit bukan pertanda kalau kamu bisa diem aja, justru kamu harus banyak gerak, biar cepet sehat."

Tapi mau sebagaimanapun Arda berteriak, sebrutal apapun Erza mengetuk pintu, keheningan masih menjadi jawaban. Genta masih enggan untuk membuka. Tapi bukan itu point utamanya....

Remaja dengan wajah pucat dan bibir kering itu agak menyedihkan. Bagaimana maniknya yang tak bisa terpejam, bagaimana keheningan yang justru membuat pikirnya bergelut tak beraturan. Genta sadar, bahwa pikirannya mulai kacau. Pikiran-pikiran negatif yang bermunculan, banyaknya ilusi dari bayangan tentang bagaimana keadaan yang terjadi di masa depan.

Genta terlalu takut untuk melihat sinar pagi.

Atau bahkan Genta terlalu takut dengan dirinya sendiri.

"Ge, lo masih tidur?" Suara Erza menggelegar, begitu di setiap jam-jam kakaknya ada di rumah.

Genta semakin meringkuk, bak janin dalam kandungan. Pemuda itu menarik selimut erat, bersembunyi dengan ketakutan.

"Heem, dia gak jawab apapun, mungkin dia tidur kali."

Erza melenggang pergi, meski dalam lubuk hati paling dalam ada rasa takut yang hinggap dalam hatinya.

°°°

Erza baru pertama kali lagi sejak dua tahun menginjak sekolah ini. Bangunan yang cukup lama, bahkan kedua orangtuanya pun mengenyam pendidikan disini. Ada banyak kenangan yang tidak bisa Erza lupakan, rasanya sedikit berbeda sejak hari sebelum kelulusan.

Anak-anak tampaknya masih belajar, lorong-lorong sepi tak berpenghuni.

Yang pertama, Erza pergi ke ruang piket, menanyakan di mana kelas 12 IPA 1.

Lalu Erza kembali berjalan, menyusuri lorong. Beberapa kali ia berpapasan, entah dengan guru ataupun dengan mantan adik kelasnya dulu.

Erza memang terkenal ramah, maka tak aneh apabila wajah dingin yang terlihat berubah seketika menjadi ramah, tersenyum dengan gestur lambaian tangan menyapa.

IlusiWhere stories live. Discover now