50

5.2K 650 35
                                    

Jika si sulung dan anak tengah memiliki fitur wajah dominan pada sang ibu, maka lain hal dengan si bungsu. Semua orang pun tahu bahwa Genta itu adalah Arya versi muda dan dalam versi seorang omega. Semua fitur wajah, bahkan segi sifat pun sama, tidak terelakkan lagi.

Jika si sulung dan anak kedua memiliki sifat ceria serta blak-blakan pada orang tua, maka lain hal dengan Genta yang selalu diam. Sejak kecil pemuda omega itu selalu diam, tidak meminta sesuatu bahkan untuk hal yang ia inginkan sekalipun. Jika ditanya kenapa, dia akan menjawab 'malu' atau 'gak mu nyusahin' dan pemikiran-pemikiran terlalu dewasa lain untuk seusianya.

Kedua sifat yang sama antara sang ayah dengan putra bungsu itu menciptakan suasana yang canggung, hingga salah satu mengalah dan pergi meninggalkan. Keduanya jarang terlibat pembicaraan. Ya, Arya tak pernah bertanya tentang hari-hari putra-putrinya, ia terkesan tidak peduli meski pada faktanya tidak seperti itu. Berbeda dengan Erza dan Arda yang selalu memulai interaksi terlebih dahulu, ketika bersama Genta dan tidak ada yang memulai pembicaraan, hanya akan membuat kecanggungan.

Mungkin hal tersebut yang membuat Arya terlalu jauh untuk menggapai sang putra. Terlalu jauh sampai sering ia bertanya, apakah Genta benar-benar putra omega yang dulu ia harap-harapkan? Atau berbeda.

Arya bukan tak ingin dekat sang putra. Awal niatnya ingin mencoba membuka hubungan ketika si bungsu mulai beranjak dewasa, namun satu hal mengerikan yang terjadi pada masa itu membuat niat awalnya hancur berantakan. Jarak yang sudah jauh semakin jauh, seolah tak ada harapan untuk dekat.

Kecewa? Sudah pasti. Dibanding hal itu ia lebih kecewa pada diri sendiri yang berakhir ditutupi karena sebuah gengsi. Arya merasa gagal, ia merasa bukanlah ayah yang baik. Hatinya teriris dengan semua yang terjadi belakangan itu, namun egonya lebih tinggi untuk sekedar bertanya apa yang sebenarnya terjadi?

Sebuah fakta terungkap tidak lama setelahnya semakin membuat Arya merasa rendah. Ia merutuki dirinya yang tak becus menjadi orang tua. Figur ayah semacam apa dirinya ini? Yang seharusnya menjadi penguat justru yang semakin menghancurkan.

Anaknya berjuang dengan trauma yang ada, dan Arya semakin menyerang titik lemah itu membuat sang anak semakin terpuruk.

Arya bahkan kehilangan kata-katanya setelah apa yang terjadi. Ingin ia bersujud dan meminta maaf, meminta maaf karena si bungsu harus memiliki ayah sepertinya.

Hingga pada suatu hari ia memberanikan diri. Ia bahkan mengambil cuti atas pekerjaannya dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan sang anak.

Apakah dengan itu hubungan keduanya langsung membaik? Jelas tidak. Ada banyak penolakan secara tak langsung yang dilayangkan oleh sang putra. Arya tidak marah, ia tau mungkin sang anak sedang kecewa. Namun ketika ia mengajak sang anak kesebuah tempat yang terlalu jauh untuk dibayangkan Genta, ketika Arya menggenggam tangannya. Disana tangis Genta pecah.

Mengapa? Genta sendiri tidak tau. Psikolog? Hah...

Genta dalam sepanjang hidupnya baru pertama kali merasa diperhatikan sejauh ini oleh sang ayah.

Hari itu seolah menjadi hari spesial bagi sepasang ayah dan anak. Hari dimana keduanya berdamai pada keadaan, hari dimana Genta merasakan kasih sayang yang benar-benar tulus.

Bak rollercoaster, hidup itu selalu naik dan turun, Arya teramat percaya dari kutipan kata tersebut. Semuanya memang baik-baik saja setelahnya, namun dimulai dari kemarin, dan tepatnya hari ini Arya kembali ditempatkan pada sebuah perasaan yang aneh.

Sebuah ketakutan yang membuat setiap helaan napas yang keluar terasa menyakitkan. Tangan yang tertaut sedikit gemetar, wajahnya terlalu kaku untuk sekedar berekspresi bahwa ia benar-benar khawatir pada kondisi sang anak.

IlusiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin