47

5.1K 607 27
                                    

Apakah dengan menyatakan perasaan cinta, kehidupan Reksa dan Genta akan selurus jalan tol? Jawabannya sama sekali tidak.

Mereka remaja labil, pikirannya masih sering berubah-ubah, belum punya prinsip tetap apalagi tujuan yang benar-benar dikejar. Ada banyak opsi dalam pikiran Reksa tentang bagaimana ini semua nantinya. Padahal masuk kuliah saja belum, tapi dia sudah mulai memikirkan hal ini.

Harusnya dengan usianya sekarang Reksa masih bisa merasakan senang-senang. Bermain kesana-kemari tak kenal waktu, menghamburkan orang tua seperti yah kebanyakan remaja lainnya.

Itu semua bisa saja terjadi jika kondisinya tidak seperti sekarang. Tapi otaknya bekerja sesuai keadaan. Tak peduli jika usia Reksa adalah 19, ataupun statusnya yang masih seorang pelajar, faktanya adalah Reksa sebentar lagi menjadi ayah. Sebuah kata yang membuat keadaannya berbeda dengan remaja kebanyakan.

Rasanya sungkan apabila ia meminta uang demi keperluannya sendiri, lalu ia berpikir jika dia menikah dengan Genta suatu saat ketika ia belum menemukan kerja, lantas bagaimana jadinya?

Pikiran-pikiran itu akhir-akhir sering menyambangi otak Reksa. Bukan dalam artian dia menyesal akan menjadi orang tua, ataukah merasa keadaan ini menekannya (saat ini) yang Reksa pikir adalah, bagaimana cara ia bisa survive di keadaannya sekarang.

Ada waktu sekitar satu bulan sebelum dunia perkuliahan benar-benar Reksa rasakan. Ia pikir dibanding hanya diam di rumah atau bermain dengan teman akan lebih baik jika ia mencari pekerjaan.

Beberapa kali Reksa mengkode kepada Mama jika ia ingin bekerja lebih lama di toko, tapi wanita itu mengatakan tak perlu karena ramainya toko sudah seperti sebelumnya. Padahal jika Reksa mengatakan yang sejujurnya pasti akan mengizinkan.

Lagi-lagi otaknya mulai berpikir, apa yang harus ia lakukan?

Disaat seperti ini tiba-tiba dering telpon mengagetkan Reksa dari lamunan. Benda pipih di sakunya bergetar pelan, sebuah nama yang tertera membuat Reksa berdecak malas.

Jika tidak penting, pasti amat-amat tidak penting. Begitulah kira-kira ia memperkirakan isi percakapan jika Lian lah yang menelponnya.

"Apa?"

Dari seberang sana Lian mendengus, respon yang sama seperti sebelum-sebelumnya. "Belum juga ngomong udah kayak orang males."

"Ya emang."

"Terserah deh. Kata Papa kesini aja, katanya mau balikin buku resep milik Tante Kirana."

"Kenapa gak lo aja yang kesini."

"Ini weekend, haram hukumnya ketika weekend pergi jauh-jauh ketemu orang. Mending gue rebahan seharian sambil nonton."

"Aishh. Iya, bentar lagi gue kesana."

Reksa mematikan begitu saja ponselnya. Lantas dengan cepat pemuda itu turun dari kamar, menggapai kunci motor di meja, tanpa meminta izin terlebih dahulu ia pergi begitu saja.

Jarak rumahnya dengan rumah Lian itu dekat sebenarnya, jalan kaki bisa saja sampai, tapi Reksa sedang malas. Kecepatan motornya saja diatas rata-rata, beberapa umpatan dilayangkan orang-orang karena Reksa mengandarai motornya di sebuah perumahan.

Sesampainya disana pemandangan yang pertama kali Reksa lihat adalah Kay yang sedang main tanah. Bocah ajaib itu sendirian, lesehan sembari berbicara sendiri yang sejujurnya agak ngeri jika diperhatikan lama-kelamaan.

Reksa tidak tahu saja Kay sudah mengembangkan kemampuan berbicara dengan semut. Bocah itu tengah mendiskusikan tentang pembangunan di pasir sisa pembangunan rumah.

IlusiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant