30

6K 733 63
                                    

Tidak ada orang tua yang benci anaknya, setiap orang tua selalu menyayangi anak mereka meski dengan cara yang berbeda. Tapi bagi sebagian orang kalimat itu hanya bulan semata. Tidak selamanya orang tua mementingkan anak mereka, sebagian kecil lain justru menganiaya anak entah itu secara fisik maupun psikis.

Kana, 18 tahun. Selama banyaknya waktu yang ia lewati, ia rasa tidak sedikitpun sang ibunda menunjukkan kasih sayang, tidak sedikitpun sang ayah memberinya sebuah senyuman. Lantas apakah pantas bagi dirinya untuk dituntut selalu berbakti? Manakala kebutuhan hidup saja Kana membiayai dirinya sendiri.

"Kamu ini udah besar, harusnya ngalah sama adik kamu ini. Segitu susahnya kamu bantu orang tua?"

Kana menunduk, buliran-buliran air mata sudah menunduk dimatanya. "Tapi Ma, menurut Mama lebih penting studi tour Rayan dibandingkan kuliah aku?!"

Plak!

Nada tinggi tak kuasa ditahan, membuat satu tamparan melayang pada pipi mulus Kana. Gadis itu terisak pelan, sedang sang objek pertengkaran mengintip dengan penuh rasa sesal.

"Saya udah bilang berapa kali sama kamu, buat apa kuliah! Kamu itu omega, tugas kamu di rumah. Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi Kana! Kalau ujung-ujungnya tempat kamu cuman di dapur, urus anak sama suami!"

"Tapi Ma, Kana-

"Terus, terus aja ngebantah orang tua. Untuk sekarang kamu mungkin punya banyak cita-cita, itu karena kamu masih kecil belum ngerti cara dunia berjalan. Sudah besar kamu bakal tau, kalau pendidikan untuk omega itu gak penting."

"Terus kenapa Mama selama ini terus kerja? Banting tulang buat keluarga? Mama bilang tugas omega cuman di rumah kan? Terus buat apa Mama capek-capek ngeluangin waktu buat cari uang?"

Nafas wanita itu tersengal, tangannya mengepal, serta penampilan acak-acakan membuatnya terlihat mengerikan. Menjadi orang miskin yang harus bekerja setiap saat tidaklah menyenangkan sama sekali.

"Dengerin saya Kana. Kamu gak ngerti apapun, kamu gak perlu kuliah, uang gaji kamu biar Mama yang pegang." Untuk yang terakhir kalinya wanita itu menghela nafas, nada bicara mulai pelan sebab rasa lelah yang ia rasa. Tangannya terulur, meminta amplop putih yang dicekal erat oleh sang putri.

"Gak. Keputusan Kana udah bulat, Kana bakal kuliah, jadi omega berpendidikan biar gak kayak Mama. Lagian dulu Kana gak studi tour juga kan? Kenapa beda banget sama zaman Kana dulu? Bahkan pas ada uang pun Mama gak mau bela-belain keluar uang buat Kana. Kenapa giliran Rayan pas Mama gak ada uang pun Mama maksain?"

"Berani ngelawan kamu sekarang?" Tangannya kembali terangkat, siap untuk melayangkan sebuah pukulan. Sebelum kemudian tarikan pada pakaian mengalihkan perhatian si wanita omega. Dia menatap sang putra. Rayan, pemuda berusia 14 tahun itu menunduk, tatapannya secara bergantian menatap sang ibu dengan Kakak.

"Aku gak papa gak ikut, lagian gak mau juga," ucapnya pelan.

Kana menatap penuh benci. Kobaran amarah begitu terlihat di matanya. Sejak awal Kana tidak pernah menganggap Rayan sebagai adiknya.

"Diem kamu Ray, Mama lagi gak ngajak bicara kamu."

Rayan terdiam, selalu takut jika nada tinggi sang ibunda diberikan padanya. Rasa-rasanya bahkan dengan statusnya yang seorang alpha, tidak ada kekuatan sama sekali ada diri Rayan. Ia selalu merasa lemah.

"Coba kamu pilih sekarang. Kamu kasihin uang itu ke Mama, atau kamu pergi dari rumah ini."

Ancaman yang tidak main-main, yang selalu sukses membuat nyali Kana ciut seketika. Dulu Kana selalu mengalah, selalu ada rasa takut untuk melawan sang ibunda, pada akhirnya mengalah adalah pilihan terakhirnya.

IlusiWhere stories live. Discover now