15

6.7K 695 44
                                    

Kenapa ya sesuatu yang kita punya sejak awal kerap kali tidak pernah disyukuri. Genta tahu dia bukan anak pintar, gairahnya dalam belajar sekecil biji jagung, tapi setelah semua tidak ada digenggamannya, ada rasa kecewa yang ia rasakan.

Genta masih ingin sekolah, bermain-main menikmati hidupnya. Seharusnya itu ia lakukan sejak awal, bukan hanya mendekam di dalam kamar seperti seseorang tanpa kehidupan. Akhirnya Genta menyesal, hidupnya berubah hanya dalam satu malam.

Mama bilang, Genta tidak mungkin bisa ikut sekolah kembali. Mungkin jika ini terjadi di penghujung masa SMA nya Genta masih bisa ikut ujian, mendapatkan ijazah. Tapi faktanya tidak seperti itu, masih ada beberapa bulan kelas 12 sekolah dan mempersiapkan ujian lainnya.

Penyesalan memang selalu datang diakhir. Sampai sekarang Genta tidak tahu mengapa heat nya bisa datang satu bulan lebih awal, juga ia pikir kenapa waktu itu dirinya ditinggal sendirian? Bukankah Gama yang sejak awal mengajaknya?

Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, mau menangis darah pun tidak bisa mengulang kembali masa lalu.

Di meja makan yang hening, sejak kejadian itu rumah menjadi sepi seolah tak berpenghuni. Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, tapi Erza justru lebih jarang di rumah. Seperti sekarang ini, kakak laki-lakinya itu sudah hilang entah kemana.

Genta ada di sini karena sebuah hal, Mama yang memaksa. Genta masih tidak ingin melihat orang-orang pada awalnya, mendekam di kamar adalah satu-satunya yang ia gunakan demi menjernihkan pikiran. Tapi Mama bilang Genta tidak mungkin begitu terus-menerus, dia harus bersosialisasi dengan orang-orang.

Tapi bagaimana bisa Genta bersosialisasi ketika orang-orang hanya diam padanya? Tatapan Ayah yang menusuk selalu mampu membuat bulu kuduk Genta merinding seketika.

"Kamu gak perlu sekolah lagi, ini keputusan final."

Genta tahu, kenapa terus dibahas? Membuat hatinya kembali sakit dengan fakta yang ada.

"Tapi kita bisa akalin buat kamu bisa dapat ijazah. Lalu kuliah, kamu bisa lakuin itu setelah bayinya lahir."

Tapi tetap saja berbeda, Genta ingin semua berjalan dengan yang seharusnya. Yang Genta inginkan adalah momen-momen dirinya menjadi seorang siswa, bukan hanya karena sebuah ijazah semata.

Omega itu termangu beberapa saat, hidungnya akhir-akhir sedikit sensitif, tubuhnya juga lemah. Genta mendapati pandangannya sering berkunang-kunang akhir-akhir ini. Puncaknya saat malam kemarin, Genta seorang diri menahan sakit di kepala, seolah bereaksi perutnya juga ikut kram. Genta berpikir dia akan mati saat itu juga.

Tubuh Genta memang agak gempal, wajarlah orang yang tidak suka olahraga tapi banyak makan. Namun akhir-akhir ini tubuh Genta terlihat sedikit kurus, pipinya cekung berubah menjadi tirus. Semua sadar, jelas, apalagi Ayah yang notabenya jarang di rumah sudah pasti melihat itu dengan begitu jelas.

Omega yang hamil memang agak sulit menjalani kehidupan sehari-hari tanpa alphanya. Itulah yang Diana pikirkan sejak awal, belum lagi tanda Mating di tengkuk Genta, semakin memperjelas semuanya.

Mungkin memang benar jika omega itu menolak alpha itu menjadi alphanya, tapi respon biologis Genta tidak mungkin seperti itu. Pasti ada keinginan omega untuk mencium aroma Alphanya, terlepas jika omega itu benci sekalipun pada sang alpha.

Genta menahan mual di saat aroma tajam dari mentega berasal dari salah satu makanan. Dia diam, wajahnya sudah pasrah. Arda, gadis itu menyentuh tangan adiknya di bawah meja, bertanya lewat pandangan mata.

Menggeleng pelan, omega itu lantas mencoba menyuap satu sendok makanan. Tapi nahas, baru beberapa kali dikunyah, dia tak bisa menyelesaikan kunyahannya, lantas ia berlari meninggalkan meja makan. Sial, menjijikan, Genta berjongkok di bawah wastafel.

IlusiWhere stories live. Discover now