64

5K 523 52
                                    

Beberapa bulan lalu Genta pernah bertanya dalam benaknya, apakah mungkin ia akan bahagia? Rasanya terlalu sukar, permasalahan pelik yang ia alami bagaikan mimpi buruk tanpa akhir. Berlalu dan berlalu, dulu rasanya setiap hari semakin gelap, namun siapa sangka bahwa gelap yang ia rasa akan dikalahkan oleh secercah cahaya.

Tak pernah dalam pikirnya ia akan membayangkan, bahwa orang yang notabennya menyakiti Genta luar dan dalam akan berlaku selembut sekarang. Sentuhannya, ucapannya begitu menenangkan. Apakah mungkin Reksa yang sekarang adalah Reksa yang sama sejak satu tahun silam?

Jari-jemarinya, suaranya, bagaimana tangan keduanya bertaut dengan punggung omega yang menempel di dada bidang alpha, Genta tidak tahu harus mendeskripsikan bagaimana lagi akan perasaan nyaman yang ia rasakan.

"Anget, Sa."

Dibawanya jari-jemari alpha, lalu digosokkan pada belah pipi sang omega. Hangat, sangat hangat. Rasanya candu, tidak ingin berpisah barang sedetik dengan Alpha.

"Udah sadar kan, Ge?"

Genta mengangguk.

Ah benar, puluhan menit lalu keduanya melakukan kegiatan panas seolah kesetanan, seperti tiada hari esok untuk melampiaskan hasrat seksual. Bahkan saking gilanya omega terlalu terbuai, tidak sadar dengan apa yang ia lakukan karena terlalu mabuk dengan aroma alpha. Namun kini Genta sadar, dan dia menyayangkan perilaku memalukannya beberapa waktu lalu.

"Jangan dibahas, malu," lirihnya, lalu membenamkan wajah diantara dua lipatan tangan.

Reksa terkekeh, membawa tubuh Genta agar lebih lekat dengan tubuhnya. Tubuh omega yang semula sangat panas kini suhunya semakin rendah. Reksa menghela napas, bersyukur karena tandanya kegiatan panas mereka resmi selesai.

"Ngapain malu, toh sama pacar sendiri."

Genta menoleh. "Sejak kapan jadi pacar?"

"Ya sekarang."

"Dih, siapa yang mau jadi pacar lo."

Meski mulut berkata demikian, dipastikan bahwa pipi Genta memerah seperti tomat. Bahkan dalam remangnya cahaya, reksa bisa tahu bahwa sang omega tengah tersipu malu.

"Yaudah, kalau gak mau jadi pacar, jadi suami aja."

Plak

Reksa meringis ketika pahanya mengalami serangan mendadak.

"Emang kenapa sih? Bener kan?"

"Diem!" Satu telunjuk Genta mendarat dibibir Reksa. Tapi, senyum di bibir pemuda alpha itu tidak luntur sedikitpun, yang ada semakin mengembang.

Reksa menarik tangan Genta, lalu ditatapnya lekat tepat diiris legamnya. "Kali ini gue gak becanda."

"Hah?"

Sekali lagi tangan keduanya terpaut.

"Gue bilang gue gak becanda. Mungkin terkesan pemaksaan, tapi mau gak mau, satu hal yang pasti bakalan terjadi adalah... Gue bakal nikahin Lo. Gue bakal jadi suami lo, mungkin gak akan sekarang, tapi pasti, entah besok, lusa, seminggu bahkan setahun kemudian, status gak jelas kita bakalan berubah."

Hening yang menyapa indra pendengaran Genta setelahnya. Otaknya terasa berhenti sepersekian detik, keterkejutan lainnya adalah ketika ia merasa kecupan kecil mendarat di pipinya.

"Gue yakin lo pasti bakal nerima."

Mata keduanya saling bersitatap. Tidak, bukan nada jenaka atau wajah konyol yang biasa Genta lihat di wajah Reksa. Bahkan bola mata legam itu tidak sedikitpun menunjukkan gurauan, hanya serius baik dari nada maupun mimik wajah.

IlusiΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα