06

7.3K 716 10
                                    

"Ge, siapa yang lakuin itu?"

Erza mencengkram erat bahu Genta. Tapi si empu yang ditanya membisu tak mengeluarkan kata. Maniknya yang kuyu berlinang air mata, memerah menahan Isak tangis yang sudah ada sejak lama.

"Gama?"

Erza mengepal erat telapak tangan. Benar, itu pasti Gama, bajingan licik itu yang melakukannya. Sejak awal Erza tidak suka bocah itu, bagaimana sikapnya yang terlalu friendly, apalagi pada gadis yang bernama Kana itu. Erza memerhatikan bagaimana kasih diantara Genta dan Gama, yang menurutnya tidak sehat jika ada gadis itu. Erza tahu mereka bersahabat, tapi harusnya mereka tahu batasan.

"Iya, pasti Gama kan. Biar gue pukul bajingan gila itu. Kapan dia ngelakuinnya? Tandanya kayak masih baru."

Erza menyingkap helaian rambut Genta, membawa wajah sang adik ke dalam hangatnya pundak dia.

"Gue bilang juga apa Ge, Gama itu bukan orang yang bener, dia-

"Bukan Gama."

Hening.

Genta menapis tangan Erza. Wajahnya sudah tertekuk, kentara ada amarah dan rasa sedih yang berpadu.

"Bukan Gama pelakunya."

Perasaan Erza campur aduk, wajahnya menatap tak percaya. Ada banyak hal dalam pikirnya, Erza menemukan detak jantungnya bertalu tak beraturan.

"Insiden. Gue ngelakuinnya sama orang lain, gue gak kenal dia, dan gue gak mau ngeliat dia lagi."

Genta mendorong tubuh Erza, membuat pemuda yang lebih dewasa hampir kehilangan keseimbangan. Genta menatapnya dengan penuh kekecewaan, tangan mengepal dan tangisnya tak lagi di tahan.

"Gue benci semuanya, Za. Gue gak mau begini, andai waktu bisa diputer, gue gak akan pernah dateng malem itu."

Genta mengusap kasar linangan air mata yang mengalir, ruangan yang senantiasa sepi kini diisi oleh tangisan sang penghuni.

Erza, dia pikir dia tak serapuh ini, ada rasa sakit yang begitu dalam menyaksikan orang yang tak pernah menangis, terisak-isak menyakitkan.

Dipeluknya tubuh yang lebih kecil, membawa pada pelukan hangat dari seorang kakak. Erza merapalkan beberapa kata, berharap jika Genta tak perlu takut untuk menghadapi semuanya. Karena bagaimanapun perilaku Erza selama ini, Genta adalah salah satu yang paling ia sayangi. Erza sukar memaafkan siapapun itu yang berbuat begini kepada adiknya.

"Waktu itu tubuh gue panas tiba-tiba, rasanya terlalu aneh karena heat gue masih satu bulan lagi. Setelah itu gue gak tau apa-apa, tiba-tiba aja bangun dengan keadaan yang telanjang."

Agak tidak terdengar jelas apa yang Genta ucapkan, sebab wajahnya menelusup pada dada bidang sang kakak. "Gue terlalu takut buat balik rumah, dan dengan bodohnya gue malah pergi ke rumah Gama."

Ah... Erza dapat membayangkan betapa menakutkannya kejadian itu. Ada banyak tanya yang ingin Erza layangkan, tapi dia ingin bertanya ketika semuanya lebih reda.

"Tapi beruntungnya Gama udah tidur waktu itu, dia gak tau keadaan kacau gue gimana. Tapi Kana, dia ngeliat keadaan gue yang kacau. Gue gak tau dia sadar ada yang beda dari aroma gue atau nggak, karena dia resesif. Setiap gue mikirin itu gue takut banget, takut Kana sadar dan bakalan bilang ke Gama. Terus Gama bakal-

"Sttt, gak perlu dipikirin. Gama gak tau masalah ini."

"Tapi tetep aja kan ada masanya dia tahu. Kalau dia tahu dan ninggalin gue gimana, Za?"

Lagi Genta mendorong tubuh Erza kuat, nafasnya menderu dengan wajah memerah dan urat-urat leher yang menegang.

"Gue kotor, gue jijik sama tubuh gue sendiri. Rasanya bahkan kalo gue mandi tiap detik pun kotoran bekas malam itu gak akan pernah hilang. Gue gak lebih baik daripada pelacur, Za."

IlusiWhere stories live. Discover now