Chapter 34.

950 131 12
                                    


➶➶➶➶➶ 𝑯𝒂𝒑𝒑𝒚 𝑹𝒆𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 ➷➷➷➷➷

***

Tinggal beberapa hari dengan Arsen, Alena mulai terbiasa pada rutinitasnya sebagai seorang istri.

Mulai dari bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk Arsen, lalu cuci piring. Di lanjut mencuci pakaian itupun tidak setiap hari.

Alena akan mencuci baju-bajunya ketika sudah terlihat banyak dan menumpuk di keranjang baju kotor. Seperti hari ini, ia baru saja selesai mencuci bajunya dan juga milik Arsen.

Sebenarnya Arsen sudah menolak ketika gadis itu ingin mencuci baju miliknya, tapi karena Alena memaksa dan mengatakan jika ini sudah menjadi tugas seorang istri, maka ia tak bisa menolak lagi.

Arsen belum terbiasa dan tidak enak, saat apa yang biasa dia kerjaan sendiri kini ada yang mengerjakannya. Hidup hanya sendiri membuat Arsen melakukan apapun sendiri, dan kini ada kebiasaan baru setelah ia hidup bersama Alena.

Arsen sarapan di rumah karena Alena sudah memasak untuk dirinya, dulu ia jarang bahkan sering tidak sarapan, biasanya bangun tidur Arsen akan bersih-bersih seperti mandi dan merapikan tempat tidur seadanya, setelah itu pergi bekerja sampai sore hari.

Agenda Alena hari ini, setelah mencuci pakaian. Ia ingin menata ulang barang-barang di rumah itu, sebenarnya Arsen sudah tipe cowok rapi, yang menaruh barang pada tempatnya.

Contohnya seperti sepatu, sendal, baju kotor atau piring kotor. Tidak seperti cowok lain yang kamarnya berantakan sekali.

Alena sudah mendapatkan izin dari Arsen, ketika dia mengatakan apa boleh jika dia sedikit merubah tata letak barang-barang di sana.

Jawaban Arsen mampu membuat kupu-kupu di perutnya serasa menggeletik, Arsen menjawab jika ia di perbolehkan melakukan apa saja di rumah itu, asal jangan sampai sakit karena kelelahan.

Jika sampai itu terjadi, maka Arsen yang akan merasa bersalah karena telah mengizinkannya mengerjakan, pekerjaan rumah.

Brak!

"Eh. Apa itu?" Alena tidak sengaja menjatuhkan sebuah kardus kecil, dari atas lemari.

Gadis itu ingin menaruh koper miliknya di atas lemari, tapi ia justru tidak sengaja menyenggol barang itu, membuat isi dalam kardus tersebut berantakan.

Alena jongkok di hadapan kardus tersebut memungut kertas yang berserakan. Matanya fokus pada sebuah lembaran kertas yang terbalik.

Ketika ia mengambil lalu di balik lembaran itu, bola matanya membulat sempurna. "Jadi Arsen lulusan terbaik di salah satu universitas? Ini kan sama kayak jurusan gue? Master Of Business. Ya ampun nilai Arsen bagus-bagus banget. Terus kenapa dia sekarang jadi mekanik. Bukannya kerja di kantor bisa?" monolog gadis itu saat melihat berkas sarjana milik Arsen.

Ia tak habis pikir dengan Arsen, bisa menjadi karyawan di kantor, tapi cowok itu malah memilih menjadi mekanik di bengkel biasa.

Beralih ke lainnya, ia tertarik pada sebuah foto. Foto tersebut terlihat usang, itu seperti foto keluarga. Yang terdiri dari suami, istri, dan dua anak.

"Jadi ini orang tua Arsen? Pantes Arsen ganteng. Papanya gagah, ganteng kayak gini, persis anaknya," ujar Alena tersenyum sendiri.

"Ini pasti adik Arsen, cantik sekali." foto itu memperlihatkan wajah bahagia, Arsen kecil terlihat tersenyum lebar sambil merangkul adiknya.

Sedangkan orang tuanya tak kalah bahagia saat seorang pria yang Alena yakini adalah Papanya Arsen sedang tersenyum kearah seorang wanita cantik, wajahnya mirip sekali dengan Arsen.

Tersadar ia terlalu lama melihat-lihat foto itu, ia buru-buru membereskannya. Alena tak mau Arsen tau jika dia tidak sengaja melihat barang-barang itu.

Walaupun penasaran, tapi Alena harus bersabar sampai Arsen sendiri yang menceritakan tentang keluarganya.

˜"*°•.˜"*°• Arsenio •°*"˜.•°*"˜

Semenjak menyuruh putrinya pergi, Pak Kusuma lebih sering menyendiri dan suka murung. Bu Liana yang melihat perubahan suaminya pun ikut merasakan apa yang suaminya rasakan.

Beliau seperti itu karena rindu dengan putri mereka satu-satunya, semarah apapun mereka.

Tetap saja, rasa sayang dan rindu itu muncul. Pak Kusuma menyesal kenapa harus menyuruh putrinya pergi, seharusnya dia bisa menerima takdir dan membiarkan Alena bersama suaminya tinggal bersamanya.

"Pa udah dong, jangan seperti ini terus. Yang ada Papa sakit,"

"Bagaimana bisa tenang Ma! Alena putri kita Satu-satunya. Tapi kita malah usir dia gitu aja, Mama sebagai wanita yang melahirkan dia apa nggak ada rasa bersalah!" sentak Kusuma marah.

Liana hanya bisa menghela napas, semenjak Alena pergi ia sering mendapatkan bentakan dari suaminya, ingin membalas marah tapi dia takut akan kesehatannya.

"Papa pikir Mama setiap hari nggak mikirin Alena, pasti mikirin Pa. Tapi kita harus apa? Dia ganti nomer, kita nggak bisa hubungi dia. Mama tanya Sella malah Mama di salahin," Kusuma meraup wajahnya dengan kasar, pikirnya sedang kacau.

"Maafin Papa Ma, Papa nggak ada maksud bentak Mama. " ujarnya seraya menarik Liana dalam pelukannya.

"Nggak apa-apa Pa, Mama ngerti perasaan Papa. Lebih baik kita sabar aja, lihat seberapa lama Alena hidup di luar sana. Papa bilang laki-laki itu cuma mekanik biasa, mana mungkin Alena bisa bertahan hidup sederhana seperti itu." ucap Liana.

Kusuma hanya mengangguk menuruti permintaan istrinya, tapi dalam hatinya ia tidak yakin jika Alena tidak bahagia.

Justru dia merasa putrinya bahagia dengan pilihannya sendiri. Walaupun tidak lagi hidup kemewahan yang ia berikan.

.
.

Di tempat lain, cowok berkaos putih sedang menikmati rokok yang terjepit di dua ruas jarinya, ia memendam rasa kesal pada temannya yang sampai saat ini belum mendapatkan apa yang dia inginkan.

Tidak lama terdengar pintu terbuka, mendekat kearah meja yang ada di depan jendela besar. "Yan ini informasi yang lo minta." kata orang itu menaruh sebuah map berwarna biru.

Cowok itu membalikkan kursinya, menatap tajam seseorang di hadapannya. "Goblok lo! Cari informasi kayak gini aja sampai berhari-hari!" maki Bryan.

"Ck. Santai bro! Lo kira gampang cari informasi tentang Arsen. Susah tau, lo lihat aja apa yang gue dapat." Bryan mengambil map tersebut lalu di bukannya.

Ia menelisik tulisan itu dengan jeli. Tak ada satu tulisan pun yang cowok itu tinggal, raut wajahnya berubah seketika, terlihat semakin marah dengan mata memerah.

"Arsen!" geramnya, meremas kertas itu dengan kuat.

"Setelah lo tau siapa Arsen, apa lo tetap lanjut? Kita bakalan ancur. Yan! Bukan kita doang. Tapi orang tua lo juga," mencoba mengingat Bryan agar rencananya tidak di lanjutkan.

Brak!

"Lo ngeremehin gue bangsat!" murka Bryan menggebrak meja, matanya begitu tajam menatap temannya. "Lo kira gue takut! Gue nggak peduli siapa Arsen." napas cowok itu begitu mengebu amarahnya benar-benar sedang di puncak.

"Gue harus bisa dapatin Alena lagi. Ngerti!" temannya itu hanya mampu mengangguk pasrah.

Bryan memang sudah tidak bisa di lawan, apapun yang terjadi. Cowok itu akan melakukannya, meskipun menghancurkan dirinya sendiri.

Bryan menunduk menatap kertas yang masih dia genggam. "Sebelum dia hancurin hidup gue. Dia yang bakalan gue hancurin lebih dulu." desisnya pelan, tangannya mengepal kuat bibirnya melengkung tipis menatap tajam pada kertas yang benar-benar tak berbentuk lagi.

Sudah mengetahui siapa sebenarnya Arsen, Bryan justru semakin kuat ingin merebut Alena, ia mengindahkan nasehat temannya yang sudah mengingatkannya.

***

**✿❀ 𝑇𝑜 𝐵𝑒 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒 ❀✿**

𝗔𝗿𝘀𝗲𝗻𝗶𝗼 「𝙹𝚎𝚗𝚘 𝚡 𝙺𝚊𝚛𝚒𝚗𝚊 」Where stories live. Discover now