"Maaf papa dulu sibuk sekali bekerja jadi jarang mengikutimu-"

Perasaan Ferdinand balik anjlok.
"Pa,"

"Papa hanya mengakui, papa tak lupa. Dulu papa sibuk sekali di pabrik kecil papa, padahal hanya pembuat dompet dan tas kulit- dan kemarin kita berdua bertengkar lagi karena-"

"-usaha papa membuat pabrik kecil menghasilkan kan dompet dan tas kulit itu yang membuat aku dan mama bisa makan, bahkan aku bisa lanjut kuliah seperti sekarang kan karena papa-"

Willem membalik badannya ke depan.
"Papa pengen sekali bisa pamer kamu ke keluarga papa yang berada di Belanda sana!"

Ferdinand jadi menepuk keras belakang kursi papanya.
"Buat apa?! Aku juga belum jadi apa-apa! Apa yang patut dipamerkan?!"

"Pamerkan...perkenalkan..."
Papanya terus melanjut.
"Hidup memang aneh sekali ya Dinand, dulu papa tak pernah ada mimpi pindah ke negara lain, terlebih negara Norwegia ini. Papa dulu kemari hanya berlibur sambil meneliti pembuatan kerajinan tangan berbahan kulit, lalu malah ketemu mama-mu di Pub. Yang juga lagi masa kunjungan kerjasama Antropologi pada Universitas Norway dan Universitas Moskow."

Ferdinand sendiri pusing jika ditanya asal diri.  Ayahnya orang asli Belanda, Ibunya asli Rusia, namun kedua orang tuanya memutuskan untuk tinggal sampai sekarang di Norway.

Tapi Ferdinand tak mengeluh. Ia jadi punya koleksi perbendaharaan bahasa yaitu bahasa Norway sendiri , bahasa Rusia, Belanda dan tentu bahasa Inggris yang sudah jadi bahasa kedua penduduk Norway sendiri.

Lagipula menurut pendapat pribadinya lebih asik di Norway dibandingkan tempat asal kedua orang tuanya. Rusia orangnya terlalu kaku, sedangkan Belanda lebih banyak bangunan kota dari pada alam. Butuh naik kereta dulu ke Jerman untuk melihat lanskap alam liar yang luas.

"Nasib manusia memang takkan ada yang disangka. Mungkin nanti kau kedepannya akan pindah jauh juga, menemukan tantangan , atau kehidupan baru, orang-orang baru-"

Pintu mobil kembali terbuka.

Masuk kedalam Evelina, kesamping kursi disamping Ferdinand.

"Lagi berbincang apa ini?"
Tukas Evelina sambil menarik copot sarung tangan penghangatnya.
"Serius sekali sepertinya kalian?"

Ayah dan anak pun kompak saling menoleh dulu sebelum memberitahu.

"Membicarakan kenangan masa lalu."

"Woah!"

"Ya. Dan internship Ferdinand sekarang."

"Haloo-"
Terdengar suara teredam dari luar jendela mobil. Aksel sudah kembali membawa kopi yang dijanjikan.
"Untuk kalian bertiga, kopi susu semua. Untukku kopi latte!"
.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

RED CITY : ANNIHILATION Where stories live. Discover now