48. Diktair Chapter Empat Puluh Delapan : Tentang Keadaan Dikta

Börja om från början
                                    

Airsya masuk ke dalam ruangan Dikta dengan mendorong kursi rodanya sendiri, Melita dan Juno sengaja tidak ikut, Mereka hanya memberikan waktu untuk Airsya dan Dikta berbicara berdua.

Tangis Airsya kembali pecah, ketika mendapati Dikta yang menatapnya kosong, Airsya duduk disebelah Dikta yang terbaring.

"Dikta..." panggil Airsya pelan.

Dikta tersenyum, "Lo, Eca?"

Airsya diam.

Airsya menangis.

Bahkan untuk tau itu Airsya, Dikta harus bertanya terlebih dahulu.

"Ca?" Dikta meraba-raba sekitarnya, hingga tangannya berhenti saat menempel pada wajah Airsya.

"Iya, ini gue."

"Ca, gue pernah bilang lo cantik gak, sih?" tanya Dikta.

Airsya diam, ia berpikir dan baru sadar kalau Dikta tidak pernah mengatakan kalau dirinya itu cantik. "Nggak, lo selalu bilang kalau gue itu jelek."

"Ternyata lo cantik banget ca, bahkan dalam kegelapan kayak gini sekalipun, kecantikan lo masih kelihatan. Tapi sayangnya, Tuhan gak ngasih ijin buat gue mandang kecantikan lo lagi."

Airsya diam, air matanya mengalir lebih deras. Bahkan, Airsya tidak bisa untuk berkutik lagi.

"Ca, kok lo gak mukul gue, sih? Biasanya lo selalu mukul gue kalau gombalin lo terus, udah mulai seneng ya gue gombalin?" Dikta terkekeh pelan.

"Maaf, lo kayak gini gara-gara gu-gue... maaf, Dik gugu-" kata Airsya terbata-bata.

"Ca, sekalipun Tuhan ngambil mata gue permanen, gapapa, gue ikhlas. Asalkan Tuhan jangan ambil lo dari gue, karena kehilangan lo lebih menyakitkan dari pada kematian."

Airsya memeluk Dikta, membiarkannya tenggelam dalam dekapan hangat rangkulan Dikta.

"Ha-harrusnya gue yang ada di posisi lo, ke-kenapa lo harus nyelamatin gue sih, Dik?"

"Gue lebih baik mati, kalau gak bisa nyelamatin nyawa lo," balas Dikta dengan jelas.

Mendengar jawaban Dikta, Airsya langsung menatap matanya Dikta, mata yang gak akan pernah bisa lagi menatapnya balik.

"Gue sayang sama lo, Dikta..." ujar Airsya pelan, namun Dikta masih bisa mendengarnya.

"Gue juga sayang sama lo, Ca..." balas Dikta, ia membelai rambut Airsya dengan lembut.

"Dik, kenapa Tuhan itu jahat sama gue? Kenapa Tuhan gak pernah adil?" tanya Airsya bertubi-tubi.

"Ca... Tuhan itu baik, banget malah. Buktinya, Tuhan masih ngasih kesempatan gue buat hidup, buat jagain lo. Gue percaya Tuhan punya rencana yang jauh lebih indah, setelah kejadian ini."

"Kalau Tuhan itu baik, kenapa Tuhan gak pernah ngasih gue kebahagian?"

Dikta tersenyum tipis, "Kalau lo ngerasa belum bahagia, berati Tuhan ngasih teguran keras buat gue, untuk lebih semangat buat bikin lo bahagia, salah satunya dengan menjadi adek lo."

Airsya berusaha untuk melupakan hal itu, tetapi Dikta malah mengingatkannya kembali.

"Ka-kalau gu-gue sayang sama lo, bukan sebagai sa-sahabat atau saudara, gi-gimana?" tanya Airsya disertai isak tangisnys.

"Gak boleh. Lupain perasaan lo, hapus ingatan lo tentang perasaan aneh lo itu buat gue, kubur dalam-dalam semua yang melibatkan tentang gue."

"Tapi, gue sayang sama lo Dikta, gue cinta sama lo! Gak peduli sekalipun Tuhan ngutuk gue, karena udah suka sama adek gue sendiri!"

"Ca, jangan cinta sama gue... gue adek lo..."

"Persetan sama itu semua Dik, gue juga mau bahagia!"

Dikta meneteskan air matanya.

Sebenarnya ini moment yang Dikta tunggu dan damba-dambakan sedari dulu, ketika Airsya juga membalas perasaannya, tetapi kenapa harus setelah mengetahui kalau Airsya itu kakaknya?

"Ca, banyak cowo lain diluaran sana yang lebih baik dari gue, jangan cinta sama gue ya, berhentiin perasaan lo buat gue..." pinta Dikta memohon.

"Gue gamau cowok lain, gue maunya sama lo Dikta!"

Dikta kembali meneteskan air matanya. Ya, hanya Airsya yang bisa membuatnya menangis seperti ini, walaupun ia tahu cinta tidak mungkin berhenti secepat itu, sama halnya dengan ia yang sampai kapanpun sulit untuk menghapus perasaannya.

Dikta mengusap rambut Airsya dengan pelan dan lembut, mencoba menenangkan hati gadis itu.

"Ca, jangan nangis, jangan sedih... jangan buat gue semakin merasa bersalah, karena gak bisa ngehapus air mata lo lagi..."

Airsya terus menangis.

Perkataan Dikta tak mampu membuatnya berhenti menangis, malah justru membuat tangisannya semakin pecah.

"Ca, mana senyumnya?"

Isak tangis Airsya malah semakin terasa kencang di indra penderan Dikta, membuat Dikta ikut meneteskan air matanya kembali.

"Ca, lo gak mau nunjukin senyum lo buat gue? Kalau gue udah gak ada, awas kalau lo nyes--" Dikta terkekeh.

"Bisa gak sih, gak usah ngomong sembarangan! Kalau lo mati, gue ikut, jangan ninggalin gue!" Kata Airsya kesal dengan Dikta.

Dikta tertawa pelan. "Emang lo udah siap mati? Tubuh lo nanti abis di makanin cacing, uler, ulet, belatung, terus nan-"

"Dikta!"

"Iya, maaf. Gue becanda, mana atuh senyumnya keluarin," Pinta Dikta sambil cengengesan.

Airsya mencoba untuk mengembangkan senyumnya, tangan Dikta mentuh bagian wajahnya, meraba matanya, hidungnya, yang berakhir pada bibirnya.

Dikta tersenyum. "Senyum lo, gak pernah gagal buat gue semangat."

Sekali lagi, Dikta tidak peduli akan kehilangan apupun didunia ini, terkecuali Airsya dan bundanya.

Bagi Dikta, Airsya itu matanya dan bundanya itu pengelihatannya, keduanya itu saling berkaitan. Jadi, jika Dikta kehilangan keduanya, mungkin ia tidak akan pernah sanggup untuk melanjutkan hidupnya.

Dikta hanya ingin meminta waktu yang banyak, agar masih bisa menjaga Airsya dan Bundanya. Hanya itu, tidak lebih, karena itu cukup.

Bersambung...


Semangat buat yang lagi banyak masalah, tapi gak pernah mau bilang sama orang-orang dan malah mendem sendirian, lo gak sendiri, banyak yang sayang sama lo dan doain lo tanpa lo tahu:)

-Radikta Prayoga-


With Love, Holipehh💛

DIKTAIR Där berättelser lever. Upptäck nu