42 × π ÷ 11 + 30

216K 33K 36.5K
                                    

halooo semua!

maaf ya aku habis menghilang satu bulan huhu. bulan ini bener-bener hectic, jujur. semoga dimaafkannn! <3

sebelum kalian baca, aku mau klarifikasi dulu nih. di bab kemarin, waktu di ruang CCTV, Kai sama Re nemuin kalau kamera di depan dan di dalam ruang kepsek nonaktif, kan? itu maksudnya beneran kameranya yang nonaktif yaa temen-temen, bukan infrared-nya yang nonaktif tapi kameranya masih ngerekam HEHE. jadi kalian gaperlu panik mereka berdua ketauan pas *pip* itu HAHAHAH.

maaf mungkin kemarin agak ambigu tulisankuuu, nanti aku perbaiki lagiii <3

oiyaaa setelah melalui beberapa pertimbangan, sementara ini aku memutuskan bikin GC di Telegram! link-nya nanti aku taruh di bio Wattpad dan IG (jadi jangan lupa di-follow dulu HAHAHAH)

makasih banyak pengertian dan dukungannyaa selama ini. aku bener-bener mengapresiasi itu walaupun gabisa bales satu-satu. selamat membacaaa! <3

.

Hening.

Hanya kucuran air dari filter akuarium di sudut ruangan yang terdengar, mungkin ditambah detik jarum jam dinding yang terus berputar. Ruangan itu terang. Lantainya marmer dan jendela-jendela raksasanya mengabadikan lanskap terbaik ibu kota, di bawah sorotan cahaya papan iklan dan lampu jalan.

Dari sini, Jakarta dini hari kelihatan damai. Seolah dia tidak dikendalikan oleh uang dan kepentingan, meski semua orang tahu itu bohong. Jakarta selalu dalam perang— memang tidak butuh pedang, tapi minimal surat saham.

Antonio Wimana memahaminya seperti memahami 1+1=2, sementara pria itu meneliti perlahan foto-foto yang ada di tangannya. Foto-foto itu punya objek yang sama— lima bocah berseragam sekolah. Yang berbeda hanya lokasinya: ada yang di kelas, ada yang di lorong, ada yang di sebuah ruangan mirip gudang— tapi sedikit lebih rapi dari gudang pada umumnya.

"Jadi?"

Lembar-lembaran itu akhirnya diletakkan di atas meja persegi panjang berlapis kaca. Antonio memberikan pandangan bertanya pada seorang wanita yang sedang berdiri dan mengamati koleksi senjata api di dekat pintu.

"Jadi?" Wanita itu justru balas bertanya. "Anda belum bisa membuat kesimpulan sendiri?"

"Saya pikir Anda datang pukul empat pagi begini untuk memberitahu saya kesimpulannya, Nadia."

Wanita itu, Renadia Isvaravati, tidak langsung merespons. Jemarinya menyentuh salah satu pistol tangan dan mencoba menggenggamnya. "Belakangan ini anak-anak itu selalu terlihat bersama."

"Lalu?"

"Lalu, Anda sudah dengar apa yang mereka katakan di aula."

Terdengar dengusan. "Anda pikir mereka sedang merencanakan revolusi?"

Nadia balas mendengus. Wanita itu meletakkan pistolnya kembali dan menoleh, menatap lurus lawan bicaranya. "Anda tahu di mana putri Anda sekarang, Antonio?"

Kening Antonio refleks berkerut. "Aurora? Tentu saja di—"

"Kalau Anda cek ke kamarnya sekarang, Anda tidak akan menemukan Aurora di sana."

Antonio mengangkat alis. "Apa maksud Anda?"

"Revolusi." Nadia tersenyum timpang, mengutip perkataan Antonio tadi. "Anda tahu apa yang membuat Bina Indonesia jadi sekolah terbaik di Nusantara?" Wanita itu melangkah mendekat, menanyakan topik yang jauh berbeda.

"Sudah pasti sistem peringkat, tapi—"

"Sistem itu tidak mudah untuk dijalankan," potong Nadia. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai. "Agar sistem seimbang, kami perlu mendidik siswa-siswi kami sebagai individu terbaik— sekaligus menghancurkan mereka sebagai makhluk sosial."

A+On viuen les histories. Descobreix ara